Sunday, February 27, 2011

PERANAN PETERNAKAN MASA KINI

Oleh karena paradigma baru pembangunan peternakan tidak lagi menempatkan peternak hanya sebagai objek, tetapi sekaligus sebagai subjek pembangunan yang berperan sebagai pelaku ekonomi penting. Sehingga ke depan diharapkan dapat mencapai visi pembangunan peternakan, yaitu “Terciptanya peternakan modern, tangguh dan efisien berbasis sumber daya lokal dalam mewujudkan masyarakat yang sehat dan produktif”.
Disadari atau tidak, sub sektor peternakan memiliki peranan penting dalam kehidupan dan pembangunan sumberdaya manusia Indonesia. Peranan ini dapat dilihat dari fungsi produk peternakan sebagai penyedia protein hewani yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia. Oleh karenanya tidak mengherankan bila produk-produk peternakan disebut sebagai bahan ”pembangun” dalam kehidupan ini. Selain itu, secara hipotetis, peningkatan kesejahteraan masyarakat akan diikuti dengan peningkatan konsumsi produk-produk peternakan, yang dengan demikian maka turut menggerakan perekonomian pada sub sektor peternakan.
Namun demikian, kenyataannya menunjukkan bahwa konsumsi produk peternakan masyarakat Indonesia masih rendah. Padahal bahwa abad ini merupakan abad pertarungan talenta, yaitu abad yang penuh dengan persaingan dan pertarungan ketat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang membutuhkan talenta kuat. Untuk memenangkan pertarungan ini maka dibutuhkan manusia-manusia cerdas dan kuat. Hal ini bisa penuhi dengan konsumsi protein hewani yang memadai.Rata-rata konsumsi protein hewani baru 4,19 gram/kapita/hari. Menurut Direktorat Jendral Peternakan (2006), rata-rata konsumsi pangan hewani daging, susu dan telur masyarakat Indonesia adalah 4,1; 1,8 dan 0,3 gram/kapita/hari. Angka konsumsi ini masih rendah bila dibandingkan dengan standar minimal konsumsi protein hewani yang ditetapkan oleh FAO, yaitu 6 gram/kapita/hari atau setara dengan konsumsi 10,3 kg daging/kapita/tahun, 6,5 gram telur/kapita/tahun dan 7,2 kg susu/kapita/tahun.
Beranjak dari fakta di atas maka pemerintah menetapkan program yang akan “mendongkrak” produksi dan konsumsi produk peternakan yang dalam hal ini daging (sapi). Program yang selanjutnya dikenal dengan program swasembada daging (sapi) merupakan program unggulan pemerintah sebagai tindak lanjut dari program Revitaslisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (2005) yang dicanangkan pada pertengahan 2005. Target waktu yang hendak dicapai adalah tahun 2010 Indonesia telah mencukupi kebutuhan akan daging sapi sendiri. Waktu yang tersisa 2 (dua) tahun ini tentu saja membutuhkan kerja ekstra keras untuk mencapainya
Dorong Peran Serta Peternak
Dampak pertumbuhan peternakan terhadap peternak skala kecil bergantung pada peran serta mereka di pedesaan dalam pasar peternakan yang bernilai tinggi (high-value commodity). Upaya mendorong peran serta peternak berskala kecil tersebut membutuhkan infrastruktur pasar, peningkatan kemampuan teknis peternak, instrumen manajemen risiko dan tindakan kolektif melalui berbagai organisasi produsen.
Sementara itu permintaan produk peternakan primer dan olahan yang bernilai tinggi naik dengan pesat didorong oleh pendapatan yang meningkat, liberalisasi perdagangan yang semakin intensif, investasi asing (foreign direct investment) dan kemajuan teknologi. Perkembangan-perkembangan ini memperluas kesempatan pasar yang penting untuk mempercepat pertumbuhan peternakan, pengolahan dan jasa peternakan, perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan di pedesaan. Pasar baru tersebut menuntut kualitas, pasokan yang tepat waktu dan skala ekonomis tinggi.
Tak hanya itu, peningkatan nilai tambah produk bernilai tinggi juga membutuhkan sistem pemasaran yang berfungsi baik sehingga dapat mengurangi biaya pemasaran dan ketidakpastian pasokan, memperbaiki ketahanan pangan dan lebih mendekatkan peternak dengan konsumennya. Dengan cara ini, sistem pemasaran akan menciptakan sinyal-sinyal kepada peternak mengenai peluang-peluang.
Walau demikian, revolusi peternakan tidak serta merta mengurangi kemiskinan. Sebab, bisnis ini menuntut pengelolaan secara intensif (management intensive), berisiko tinggi–baik karena penyakit maupun fluktuasi harga–serta membutuhkan investasi yang tidak sedikit.
Dalam jangka panjang tidaklah dapat dipungkiri bahwa permintaan terhadap komoditas-komoditas peternakan akan terus meningkat seiring dengan adanya pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan, perbaikan tingkat pendidikan, urbanisasi, perubahan gaya hidup (life style) dan peningkatan kesadaran akan gizi seimbang. Kondisi ini mencerminkan bahwa bisnis peternakan ke depan tetap memiliki prospek pasar yang baik dan berkelanjutan.
Peran dan prospek peternakan ke depan tetap memiliki peranan sosial dan ekonomi yang cukup signifikan walaupun dengan laju pertumbuhan kinerja yang melambat pada tahun 2010. Hal ini terjadi karena pertumbuhan perekonomian Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan akan melambat yang diakibatkan oleh adanya krisis finansial global dan tetap tingginya harga minyak dan pangan. Masalah besar yang dihadapi terkait dengan krisis pangan, energi dan keuangan global (global food, feed, fuel and financial crisis) atau yang sering disebut 4F adalah (a) laju inflasi yang meningkat, (b) daya beli masyarakat dan pada gilirannya ekonomi yang melemah akibat tingginya inflasi, (c) neraca keuangan pemerintah yang tertekan akibat semakin besarnya subsidi pada harga jual komoditas di pasar domestik, dan (e) pasar keuangan yang tertekan sehubungan dengan prospek ekonomi yang menurun dan resiko investasi yang meningkat.
Komoditas peternakan mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan. Hal ini didukung oleh karakteristik produk yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan pasar yang potensial bagi agrobisnis peternakan. Beberapa peluang bisnis dalam mengembangkan agribisnis peternakan diantaranya adalah pertama, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai ± 220 juta jiwa merupakan konsumen yang sangat besar, dan masih tetap bertumbuh sekitar 1,4 persen per tahun. Kedua, kondisi geografis dan sumber daya alam yang mendukung usaha dan industri peternakan. Ketiga, meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang gizi. Keempat, jika pertumbuhan ekonomi berjalan dengan baik, maka akan meningkatkan pendapatan per kapita yang kemudian akan menaikkan daya beli masyarakat.
Peternakan tetap mempunyai prospek dan peluang yang baik untuk dikembangkan karena didukung oleh kondisi Indonesia yang memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage) dalam komponen biaya input untuk tenaga kerja yang relatif lebih murah dibandingkan negara lain di ASEAN. Selain itu potensi dalam mengembangkan produksi jagung nasional dapat mengurangi ketergantungan impor dan menurunkan biaya produksi, sehingga mampu meningkatkan skala usaha yang optimal. Integrasi secara vertikal (vertical integration) juga sudah mulai terlaksana dengan menerapkan pola-pola kemitraan (contract farming), dimana peternak sudah banyak bergabung dengan perusahaan inti sehingga jumlah pemeliharaan peternakan juga semakin meningkat dan mampu menjaga kualitas dari hasil komoditas peternakan tersebut.
Pengembangan bisnis peternakan mempunyai tantangan yang cukup besar akibat perubahan ekonomi ke depan. Melambatnya pertumbuhan ekonomi yang berakibat pada penurunan daya beli perlu dinatisipasi. Adanya liberalisasi perdagangan dunia yang akan meminimumkan restriksi perdagangan antar negara menimbulkan persaingan ketat antar negara di pasar dalam negeri maupun pasar internasional. Salah satu cara yang tepat untuk dapat menang dalam persaingan adalah melalui peningkatan dayasaing, baik dari sisi permintaan (demand) maupun dari sisi penawaran (supply).
Dari sisi permintaan, harus disadari bahwa permintaan konsumen terhadap suatu produk semakin kompleks yang menuntut berbagai atribut atau produk yang dipersepsikan bernilai tinggi oleh konsumen (consumer’s value perception). Jika dimasa lalu konsumen hanya mengevaluasi produk berdasarkan atribut utama yaitu jenis dan harga, maka sekarang ini dan dimasa yang akan datang, konsumen sudah menuntut atribut yang lebih rinci lagi seperti atribut keamanan produk (safety attributes), atribut nutrisi (nutritional attributes), atribut nilai (value attributes), atribut pengepakan (package attributes), atribut lingkungan (ecolabel attributes) dan atribut kemanusiaan (humanistic attributes). Bahkan aspek animal welfare yang menjadi persyaratan baru. Sedangkan dari sisi penawaran, produsen dituntut untuk dapat bersaing berkaitan dengan kemampuan merespons atribut produk yang diinginkan oleh konsumen secara efisien.
Bisnis peternakan mempunyai peranan yang besar terhadap perekonomian nasional, namun tidak dapat dielakkan bahwa komoditas ini sering mengalami permasalahan-permasalahan yang menghambat pengembangannya baik secara makro maupun mikro, diantaranya pertama, kurang tersedianya bahan baku, sehingga Indonesia masih harus mengimpor yang menyebabkan biaya produksi relatif tinggi. Kedua, iklim investasi (misalnya ekonomi biaya tinggi, proses perijinan yang lama dan berbelit, kurangnya sarana dan prasarana jalan dan transportasi, tidak adanya penegakan hukum yang ketat) belum kondusif bagi para investor. Ketiga, kenaikan harga BBM yang menyebabkan meningkatnya biaya produksi hasil peternakan. Keempat, krisis finansial global mengakibatkan adanya penurunan daya beli. Kelima, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang relatif rendah. Keenam, keterbatasan modal sehingga menghambat pengembangan usaha. Ketujuh, mewabahnya penyakit yang berkembang di beberapa daerah.

Tuesday, February 22, 2011

STATISTIK PRODUKSI DAN KONSUMSI DAGING DI INDONESIA SERTA PELUANG USAHA

Bisnis Ternak Sapi Potong
Indonesia dengan jumlah penduduk di atas 220 juta jiwa membutuhkan pasok daging yang besar. Peternakan domestik belum mampu memenuhi permintaan daging dari warganya. Timpangnya antara pasokan dan permintaan, ternyata masih tinggi.
Tidak mengherankan, lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam hal pertanian termasuk peternakan, Deptan, mengakui masalah utama usaha sapi potong di Indonesia terletak pada suplai yang selalu mengalami kekurangan setiap tahunnya.
Sementara laju pertumbuhan konsumsi dan pertambahan penduduk tidak mampu diimbangi oleh laju peningkatan populasi sapi potong dan pada gilirannya memaksa Indonesai selalu melakukan impor baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging dan jeroan sapi.
Menurut data Susenas (2002) yang dikeluarkan BPS, memperlihatkan konsumsi daging sapi dan jeroan masyarakat Indonesia sebesar 2,14 kg/kap/tahun. Konsumsi tersebut sudah memperhiutngkan konsumsi daging dalam bentuk olahan seperti sosis, daging kaleng dan dendeng.
Asumsi
·         Penduduk tahun sebesar 206,3 juta dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,49% per tahun
·         Populasi sapi lokal sebesar 11,6 juta ekor dengan tingkat pertumbuhan sebesar 14% per tahun.
·         Konsumsi daging sebesar 1,72 kg/kapita/tahun dengan peningkatan sebesar 0,1 kg/kapita/tahun.
·         Produksi daging sapi sebesar 350,7 ribu ton.
Proyeksi kebutuhan daging
·         Th 2000
o   Penduduk 206 juta orang
o   Konsumsi 1,72 kg/kapita/tahun
o   Produksi daging 350,7 ribu ton/tahun
o   Pemotongan sapi 1,75 juta ekor/tahun
·         Th 2010
o   Penduduk 242, 4 juta orang
o   Konsumsi 2,72 kg/kapita/tahun
o   Produksi daging 654,4 ribu ton/tahun
o   Pemotongan sapi 3,3 juta ekor/tahun (naik 88,6%)

·         Th 2020
o   Penduduk 281 juta orang
o   Konsumsi 3,72 kg/kapita/tahun
o   Produksi dagiing 1,04 juta ton/tahun

 Sumber : Apfindo

Menurut saya :
Dengan kondisi tersebut diperkirakan keadaan populasi 2009 hanya mampu memasok 80% dari total kebutuhan dalam negeri. Keadaan tersebut tentu sangat menghawatirkan karena suatu saat akan terjadi dimana kebutuhan daging sapi dalam negeri sangat tergantung kepada impor. Dengan demikian ketergantungan tersebut tentu akan mempengaruhi harga sapi lokal.
Semakin sulitnya sapi lokal memenuhi kebutuhan daging pada hari-hari besar keagamaan (Idul Fitri, Natal, dan tahun baru). Dan tiap provinsi sumber ternak mulai khawatir terhadap pupolasi sapi di daerahnya. Kemudian adanya pemotongan sapi betina produktif. Pemerintah tidak mempunyai kewenangan apapun untuk mencegah sapi betina produktif untuk dipotong.
Belum lagi akibat soal kualitas sapi lokal. Kondisi itu, dengan sendirinya, membuat Indonesia harus mampu mendorong pertumbuhan produksi sapi sekaligus daging sapi. Arena kebutuhan daging sapi yang semakin meningkat, jika tidak disertai pertumbuhan populasi, mengakibatkan semakin banyaknya sapi lokal yang diptong termasuk sapi betina. Di mana ketergantungan akan impor akan semakin besar dan pada akhirnya akan 100% tergantung impor.
Itu sebabnya, bisnis ternak sapi potong, menjadi salah satu lahan usaha yang prospektif. Untuk peluang ekspor daging sapi ke Malaysia sangat terbuka karena permintaan di negara jiran itu cenderung meningkat. Hal itu dipicu oleh bergesernya tradisi memotong kambing kepada tradisi memotong sapi atau kerbau pada saat perhelatan keluarga atau perayaan lainnya.
Skala rumah tangga
Banyak sistem yang biasa digunakan untuk mengembangkan ternak sapi potong. Salah satu sistem yang paling dikenal adalah sistem kandang dalam lembaga yang berbadan hukum resmi seperti koperasi. Sistem ini termasuk sistem berskala besar karena jumlah sapi yang dibudidayakan bisa mencapai ratusan ekor, selain keuntungan yang diperoleh dari aplikasi sistem ini jauh lebih besar.
Saat ini sudah mulai berkembang sistem lain yakni ternak sapi potong berskala rumah tangga yang menggunakan cara konvensional sehingga memudahkan sebuah rumah tangga mengembangkan usaha ternak sapi potong ini. Sistem ini dikembangkan karena ternak sapi potong dipandang sebagai bentuk usaha yang dapat memberikan tambahan pendapatan kepada para peternak kecil skala rumah tangga tersebut sekaligus mengangkat masyarakat ekonomi lemah.
Ternak sapi potong berskala rumah tangga tersebut sangat ekonomis, baik dari sisi biaya pemeliharaan maupun biaya pembuatan kandang. Karena berskala kecil, pembuatan kandang biasanya berbentuk tunggal. Tapi hal teknis lainnya seperti ukuran kandang untuk seekor sapi tidak jauh berbeda dengan ukuran kandang untuk penggemukan sapi komersil dalam skala besar. Agar proses penggemukan berhasil, peternak diberikan bimbingan bagaimana mengenal tipe sapi potong, memilih bibit dengan benar, mencari lokasi yang memenuhi syarat, penyiapan sarana dan proses pemeliharaan yang baik.
Seperti yang lazim diketahui, jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini merupakan sapi asli Indonesia dan sapi impor. Dari jenis sapi potong tersebut, masing-masing memiliki sifat dan ciri khas baik dilihat dari bentuk luarnya seperti ukuran tubuh, warna bulu maupun genetiknya. Biasanya sapi-sapi asli Indonesia yang dijadikan sumber daging para peternak sapi adalah sapi bali, sapi ongole, sapi po (peranakan ongole), sapi madura dan sapi aceh. Ini harus diketahui peternak.
Pendapatan meningkat
Dalam tempo enam bulan, satu ekor sapi potong bisa menghasilkan keuntungan sekitar Rp4 juta-Rp5 juta.
Harga bibit satu ekor berkisar antara Rp6 juta-Rp7 juta, sementara setelah dipelihara selama enam bulan, harga sapi di pasaran meningkat antara Rp10 juta-Rp11 juta, sehingga peternak memperoleh keuntungan Rp4 juta-Rp5 juta per ekor atau sekitar Rp12 juta-Rp15 juta per satu rumah tangga.
Besarnya keuntungan yang diterima peternak dengan cara konvensional tersebut ke depan masih bisa berlipat ganda, apabila pemerintah membangun membangun pabrik konsentrat sapi.

PERANAN TERNAK SEBAGAI SUMBER PANGAN HEWANI

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-Asia Tenggara, jumlah penduduknya kurang lebih 220 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,5% per tahun merupakan negara yang mempunyai beraneka ragam kekayaan alam. Kekayaan alam tersebut bukan hanya terdapat pada sektor kekayaan alam migas seperti minyak bumi dan bahan tambang saja, namun juga kekayaan alam non-migas seperti tersedianya lahan pertanian yang cukup luas. Namun semua itu ternyata belum cukup untuk memberikan solusi atas permasalahan yang ada, permasalahan seperti kurang memadainya kebutuhan pangan, jika kekayaan tersebut tidak diberdayakan secara optimal dan dilandaskan oleh aturan dan kebijakan yang mendukung didalamnya.
Salah satu permasalahan yang paling crusial adalah pemenuhan kebutuhan pangan, terutama kebutuhan protein hewani. Pemenuhan kebutuhan pangan ini sangat erat hubungannya dengan sektor pertanian dalam arti yang luas, sehingga tidak heran jika pertanian menjadi bagian penting dalam pembangunan bangsa Indonesia. Salah satu sektor dari pertanian tersebut adalah sub sektor peternakan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tantangan Sektor Peternakan di Era Globalisasi
Era globalisasi perdagangan yang merupakan pemberlakuannya perdagangan bebas antar negara menjadi tantangan baru dalam pembangunan peternakan, disamping sederetan persoalan peternakan yang melanda negara ini. Dalam globalisasi perdagangan, produksi peternakan dalam negeri harus mampu bersaing dengan produksi peternakan dari berbagai negara. Sehingga dapat dibayangkan betapa ketatnya persaingan antar produksi dalam mencari pangsa pasar (market segmention). Bahkan anekdot siapa yang kuat pasti dapat; seperti halnya hukum rimba, merupakan keniscayaan yang suka atau tidak suka akan dihadapi oleh pelaku industri peternakan bangsa ini.
Persaingan mendapatkan bahan baku produksi dan lahan peternakan juga merupakan permasalahan yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah dan pelaku peternakan dalam memajukan peternakan nasional di era globalisasi perdagangan. Belum lagi masalah penyakit ternak atau hewan menular lainnya.



B.     Peran Sektor Peternakan
Hampir diseluruh daerah di Indonesia kita temukan peternakan, baik peternakan yang berskala kecil maupun peternakan yang berskala besar. Bahkan menurut menteri pertanian (Mentan) Anton Apriyantono sub sektor peternakan telah menjadi salah satu sumber pertumbuhan yang tinggi disektor pertanian. Sejak tahun 2003 sub sektor ini telah mampu bangkit dari terpaan krisis tahun 1998-1999. level produksi seluruh komoditas peternakan sudah melampaui level tertinggi periode sebelum krisis. Kemampuan peternakan untuk eksis dalam menghadapi badai krisis ekonomi ini dapat pula dilihat pada tahun 2000-2003, laju peningkatan produksi ayam broiler dan petelur berturut-turut mencapai 23,4 dan 10,27 persen pertahun, padahal saat krisis ekonomi pernah mengalami penurunan yang sangat tajam, yaitu masing-masing 28,23 dan 8,92 persen per tahun. Bahkan peternakan mampu membuka lapangan pekerjaan kepada 2,54 juta masyarakat Indonesia yang bekerja disektor ini, yang tersebar baik di pedesaan maupun di perkotaan. Sehingga sektor ini diharapkan dapat menekan angka kemiskinan yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia pada medio tahun 2006 saja mencapai 3,95 juta orang.




B.     Permasalahan Penyediaan Pangan di Indonesia
1.      Konsumsi Hasil Ternak Masyarakat Indonesia Tingkat konsumsi hasil ternak bagi masyarakat Indonesia, dinilai masih jauh dibawah kecukupan gizi yang dianjurkan. Berdasarkan analisis dari Pola Pangan Harapan (PPH), tingkat konsumsi masyarakat Indonesia akan protein asal ternak baru mencapai 5,1 g/kap/hr yang setara dengan konsumsi susu 7,5 kg/kap/th, daging 7,7 kg/kap/th, dan telur 4,7 kg/kap/th (Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2004). Tingkat konsumsi protein hasil ternak tersebut terhitung kecil dibanding jumlah konsumsi protein (total nabati dan hewani) yang  ianjurkan sebesar 46,2 g/kap/hr (Tranggono, 2004). Sebagai pembanding, konsumsi susu di Amerika, Jepang dan beberapa negara Eropa sudah lebih dari 80 kg/kap/th. Konsumsi susu beberapa Rendahnya Konsumsi Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro 7 negara ASEAN juga relatif tinggi, yaitu Philippina 18,8 kg/kap/th, Malaysia 22,5 kg/kap/th, Thailand 28,0 kg/kap/th dan Singapura 32 kg/kap/th (Haryono, 2007).
2.      Kondisi Peternakan dan Industri Pengolahan Peternakan di Indonesia hingga saat ini didominasi peternakan rakyat berskala kecil dan belum maju. Lebih khusus lagi kondisi industri pengolahan pangan dan hasil ternak dominan berskala kecil. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 916.182 industri makanan dan minuman di Indonesia, 5.612 (0,61%) industri skala besar dan menengah, 82.430  9,11%) industri skala kecil, dan 828.140 (90,28%) industri rumah tangga (Darmawan, 2001).
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan keseluruhan uraian tersebut diatas, akhirnya dapat digaris bawahi beberapa hal sebagai kesimpulan berikut ini. Pertama, pengadaan produk olahan hasil ternak untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi protein heani masyarakat Indonesia masih dihadapkan pada masalah skala peternakan, salah persepsi, dan ketatnya kompetisi global. Kedua, peluang dan ketatnya persaingan dalam globalisasi pangan perlu dihadapi dengan pengembangan produk olahan hasil ternak yang inovatif dan kompetitif, yang sekaligus untuk menangkal keterjebakan pangan. Ketiga, peningkatan mutu dan keamanan produk olahan hasil ternak harus terus diupayakan. Pelanggaran terhadap mutu dan keamanan pangan identik dengan kejahatan dan harus diberi sangsi hukum yang tegas.

MAKALAH PROSPEK PETERNAKAN DI MASA MENDATANG

BAB I
PENDAHULUAN

Paradigma baru pembangunan peternakan semakin nyata berorientasi pada manusia dimana pembangunan peternakan meletakkan peternak sebagai subyek, bukan semata-mata sebagai obyek dalam mencapai tujuan nasional. Berdasarkan paradigma tersebut maka visi pembangunan peternakan adalah terwujudnya masyarakat yang sehat, produktif dan kreatif melalui pembangunan peternakan tangguh berbasis sumberdaya lokal dengan misi penyediaan pangan asal ternak (daging, telur, susu), pemberdayaan sumberdaya manusia peternak, penciptaan peluang ekonomi dan lapangan kerja serta pelestarian/pemanfaatan sumberdaya alam. Peternak yang tangguh, mandiri dan profesional dicirikan peternak yang selalu mengikuti perkembangan iptek serta berpegang pada prinsip efisiensi dan mampu untuk tidak tergantung pada perlindungan/bantuan pemerintah tapi mampu berkompetisi secara sehat dan senantiasa siap menghadapi resiko usaha. Sumberdaya manusia peternakan adalah seluruh sumberdaya manusia yang terkait dengan dunia peternakan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti peternak, pengusaha yang bergerak dibidang peternakan (budidaya, obat-obatan, pakan dan sebagainya), peneliti serta mahasiswa bidang peternakan yang merupakan potensi besar untuk pengembangan peternakan di masa mendatang. Peningkatan kualitas hasil-hasil pembangunan peternakan sangat tergantung kepada kualitas sumberdaya manusianya melalui pendidikan formal dan informal.

BAB II
ISI

Kinerja sektor pertanian pada tahun 2008 tergolong sangat baik. Selama Triwulan 1 sampai dengan Triwulan 3 tahun 2008, laju pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6.3 persen. Sektor pertanian mampu tumbuh sebesar 4.3 persen. Dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (quarter to quarter), perekonomian Indonesia pada Triwulan 3 menunjukkan pertumbuhan sebesar 6.1 persen. Pertumbuhan terbesar pada tripulan 3 ditopang oleh pertumbuhan yang tinggi pada sub sektor pertanian sebesar 6.7 persen. Pertumbuhan yang tinggi di sektor pertanian tersebut ditopang oleh terjadinya pertumbuhan yang sangat tinggi di sub sektor perkebunan sebesar 29.3 persen. Kontribusi yang tinggi di sektor perkebunan terjadi karena meroketnya harga-harga komoditas ekspor di sub sektor ini. Pertumbuhan ekonomi di Triwulan 4 diperkirakan akan melambat mengingat dampak krisis finansial global, menurunnya harga komoditas dan melambatnya kinerja ekspor akan menghadang pertumbuhan ekonomi nasional.
Selama tahun 2008, sub sektor peternakan tidak ada hentinya diterpa badai yang dasyat, berbagai persoalan seperti misalnya flu burung (AI), anthrax, penyelundupan Meat Bone Meal (MBM) dan daging, kasus CLQ dan terus meningkatnya harga-harga jagung dan kedelai di pasar internasional yang menjadi bahan baku pakan mengganggu kinerja sub sektor peternakan. Persoalan yang kerap melanda dunia peternakan kita tersebut sangat mengganggu kinerja sub sektor peternakan. Kinerja sub sektor peternakan tidak sebaik sub sektor-sub sektor lainnya, seperti misalnya sub sektor pangan, hortikultur dan perkebunan. Indonesia tetap saja mengimpor daging sapi dan susu masing-masing sebesar 35 persen dan 70 persen dari kebutuhannya. Sebagian besar pakan masih diimpor dan 100 persen grand parent stocks ayam broiler masih tergantung impor.
Dalam jangka panjang tidaklah dapat dipungkiri bahwa permintaan terhadap komoditas-komoditas peternakan akan terus meningkat seiring dengan adanya pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan, perbaikan tingkat pendidikan, urbanisasi, perubahan gaya hidup (life style) dan peningkatan kesadaran akan gizi seimbang. Kondisi ini mencerminkan bahwa bisnis peternakan ke depan tetap memiliki prospek pasar yang baik dan berkelanjutan.
Peran dan prospek peternakan ke depan tetap memiliki peranan sosial dan ekonomi yang cukup signifikan walaupun dengan laju pertumbuhan kinerja yang melambat pada tahun 2009. Hal ini terjadi karena pertumbuhan perekonomian Indonesia pada tahun 2009 melambat yang diakibatkan oleh adanya krisis finansial global dan tetap tingginya harga minyak dan pangan. Masalah besar yang dihadapi terkait dengan krisis pangan, energi dan keuangan global (global food, feed, fuel and financial crisis) atau yang sering disebut 4F adalah (a) laju inflasi yang meningkat, (b) daya beli masyarakat dan pada gilirannya ekonomi yang melemah akibat tingginya inflasi, (c) neraca keuangan pemerintah yang tertekan akibat semakin besarnya subsidi pada harga jual komoditas di pasar domestik, dan (e) pasar keuangan yang tertekan sehubungan dengan prospek ekonomi yang menurun dan resiko investasi yang meningkat.
Komoditas peternakan mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan. Hal ini didukung oleh karakteristik produk yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan pasar yang potensial bagi agrobisnis peternakan. Beberapa peluang bisnis dalam mengembangkan agribisnis peternakan diantaranya adalah pertama, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai ± 220 juta jiwa merupakan konsumen yang sangat besar, dan masih tetap bertumbuh sekitar 1,4 persen per tahun. Kedua, kondisi geografis dan sumber daya alam yang mendukung usaha dan industri peternakan. Ketiga, meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang gizi. Keempat, jika pertumbuhan ekonomi berjalan dengan baik, maka akan meningkatkan pendapatan per kapita yang kemudian akan menaikkan daya beli masyarakat.
Peternakan tetap mempunyai prospek dan peluang yang baik untuk dikembangkan karena didukung oleh kondisi Indonesia yang memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage) dalam komponen biaya input untuk tenaga kerja yang relatif lebih murah dibandingkan negara lain di ASEAN. Selain itu potensi dalam mengembangkan produksi jagung nasional dapat mengurangi ketergantungan impor dan menurunkan biaya produksi, sehingga mampu meningkatkan skala usaha yang optimal. Integrasi secara vertikal (vertical integration) juga sudah mulai terlaksana dengan menerapkan pola-pola kemitraan (contract farming), dimana peternak sudah banyak bergabung dengan perusahaan inti sehingga jumlah pemeliharaan peternakan juga semakin meningkat dan mampu menjaga kualitas dari hasil komoditas peternakan tersebut.
Pengembangan bisnis peternakan mempunyai tantangan yang cukup besar akibat perubahan ekonomi ke depan. Melambatnya pertumbuhan ekonomi yang berakibat pada penurunan daya beli perlu dinatisipasi. Adanya liberalisasi perdagangan dunia yang akan meminimumkan restriksi perdagangan antar negara menimbulkan persaingan ketat antar negara di pasar dalam negeri maupun pasar internasional. Salah satu cara yang tepat untuk dapat menang dalam persaingan adalah melalui peningkatan dayasaing, baik dari sisi permintaan (demand) maupun dari sisi penawaran (supply).
Dari sisi permintaan, harus disadari bahwa permintaan konsumen terhadap suatu produk semakin kompleks yang menuntut berbagai atribut atau produk yang dipersepsikan bernilai tinggi oleh konsumen (consumer’s value perception). Jika dimasa lalu konsumen hanya mengevaluasi produk berdasarkan atribut utama yaitu jenis dan harga, maka sekarang ini dan dimasa yang akan datang, konsumen sudah menuntut atribut yang lebih rinci lagi seperti atribut keamanan produk (safety attributes), atribut nutrisi (nutritional attributes), atribut nilai (value attributes), atribut pengepakan (package attributes), atribut lingkungan (ecolabel attributes) dan atribut kemanusiaan (humanistic attributes). Bahkan aspek animal welfare yang menjadi persyaratan baru. Sedangkan dari sisi penawaran, produsen dituntut untuk dapat bersaing berkaitan dengan kemampuan merespons atribut produk yang diinginkan oleh konsumen secara efisien.
Bisnis peternakan mempunyai peranan yang besar terhadap perekonomian nasional, namun tidak dapat dielakkan bahwa komoditas ini sering mengalami permasalahan-permasalahan yang menghambat pengembangannya baik secara makro maupun mikro, diantaranya pertama, kurang tersedianya bahan baku, sehingga Indonesia masih harus mengimpor yang menyebabkan biaya produksi relatif tinggi. Kedua, iklim investasi (misalnya ekonomi biaya tinggi, proses perijinan yang lama dan berbelit, kurangnya sarana dan prasarana jalan dan transportasi, tidak adanya penegakan hukum yang ketat) belum kondusif bagi para investor. Ketiga, kenaikan harga BBM yang menyebabkan meningkatnya biaya produksi hasil peternakan. Keempat, krisis finansial global mengakibatkan adanya penurunan daya beli. Kelima, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang relatif rendah. Keenam, keterbatasan modal sehingga menghambat pengembangan usaha. Ketujuh, mewabahnya penyakit yang berkembang di beberapa daerah.
Last but not the least, pola masyarakat Indonesia selama ini masih terlalu bersandar kepada pangan nabati, khususnya beras yang diindikasikan oleh tingginya starchy staple ratio sebesar 63 persen. Disamping itu, kita masih punya ruang untuk enlarging the pies (memperbesar pangsa pasar produk-produk peternakan). Tingkat konsumsi protein hewani asal ternak masyarakat Indonesia masih di bawah rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, yaitu sebesar 6 gr/kap/hari. Saat ini pencapaian untuk daging adalah 3.35 gr/kap/hari, telur 1.77 gr/kap/hari dan susu 0.6 gr/kap/hari, total 5.72 gr/kap/hari. Upaya promosi yang sistematis perlu kita galakkan bersama. Di berbagai lokasi strategis perlu ada iklan-iklan yang mendidik (misalnya “Apakah Anda telah memakan daging dan telur yang cukup hari ini?”) yang mengingatkan tentang pentingnya protein hewani untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia ke depan. Jika tidak, Human Development Index (HDI) kita tetap saja di bawah negara-negara tetangga kita. HDI kita pada tahun 2007/2008 berada pada urutan 107 dari 177 negara, sementara Malaysia (peringkat 63), Singapura (25), Thailand (78), Brunei (30), dan bahkan Vietnam berada pada peringkat yang lebih baik dari kita (105).
 
BAB III
PENUTUP

Mengingat pentingnya protein hewani asal ternak (daging, susu dan telur) bagi manusia, maka konsumsi produk ternak semestinya dipacu menuju tingkat konsumsi ideal. Protein hewani asal ternak memiliki komposisi asam amino yang lengkap dan dibutuhkan tubuh. Karena itu, langkah mengurangi konsumsi daging dan telur agaknya bukanlah langkah bijak. Tidak tepat konsumen ragu memakan daging dan telur ayam yang diolah secara benar meskipun wabah flu burung hingga kini belum berhasil diberantas dengan tuntas. Konsumsi protein hewani penduduk Indonesia harus dipacu kearah ideal untuk mewujudkan SDM yang cerdas, kreatif, produktif dan sehat. Dengan tersedianya pangan hewani bergizi tinggi pada tingkat rumahtangga petani maka diharapkan ketahanan pangan dapat terjadi pada tingkat rumahtangga sehingga kasus malnutrisi dapat dicegah secara sistematis. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah peranan ternak dan produk peternakan sebagai sumber pendapatan dan sumber lapangan kerja yang efektif dalam pengentasan kemiskinan di perdesaan. Untuk mengakhiri tulisan ini agaknya pantas kita renungkan sebuah pepatah berbahasa Arab yang dikutip dalam Campbell dan Lasley (1985), yang berbunyi sebagai berikut : “Negara yang kaya dengan ternak tidak akan pernah miskin. Negara yang miskin dengan ternak tidak akan pernah kaya”. Ayo majukan sektor peternakan.

PETERNAKAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-Asia Tenggara, jumlah penduduknya kurang lebih 220 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,5% per tahun merupakan negara yang mempunyai beraneka ragam kekayaan alam. Kekayaan alam tersebut bukan hanya terdapat pada sektor kekayaan alam migas seperti minyak bumi dan bahan tambang saja, namun juga kekayaan alam non-migas seperti tersedianya lahan pertanian yang cukup luas. Namun semua itu ternyata belum cukup untuk memberikan solusi atas permasalahan yang ada, permasalahan seperti kurang memadainya kebutuhan pangan, jika kekayaan tersebut tidak diberdayakan secara optimal dan dilandaskan oleh aturan dan kebijakan yang mendukung didalamnya.
Salah satu permasalahan yang paling crusial adalah pemenuhan kebutuhan pangan, terutama kebutuhan protein hewani. Pemenuhan kebutuhan pangan ini sangat erat hubungannya dengan sektor pertanian dalam arti yang luas, sehingga tidak heran jika pertanian menjadi bagian penting dalam pembangunan bangsa Indonesia. Salah satu sektor dari pertanian tersebut adalah sub sektor peternakan.
Karena sector ini memiliki kontribusi yang sangat besar dalam rangka pengentasan gizi buruk di Indonesia. Sektor peternakan mampu menghasilkan produk berupa susu, daging, telur, serta produk olahan lainnya yang nilai gizinya sangat dibutuhkan oleh tubuh. Yang menjadi permasalahan di negara kita adalah minimnya pendapatan penduduk, yang mengakibatkan daya beli masyarakat terhadap produk-produk ternak menjadi rendah. Di sisi lain adanya sifat masyarakai Indonesia yang terlalu percaya dengan isu tanpa menganalisa atau mencari informasi atas isu-isu yang sedang hangat dibicarakan. Seperti ketika isu flu burung merebak. Masyarakat langsung merasa takuk untuk kembali mengkonsumsi segala macam produk unggas. Baik dagingnya, maupun telurnya. Padahal bakteri dan virus akan mati jika dimasak dalam suhu tertentu. Masalah-masalah inilah yang terus menjadi kendala bagi sektor peternakan.

B.     Tujuan
Diharapkan baik penyusun maupun pembaca dapat lebih memahami dan menerapkan ilmu peternakan ini dalam kehidupan sehari-hari.
Melengkapi uji kompentensi mata kuliah PIIP dan agar peternakan sapi menghasilkan daging sebagai sumber protein, susu, kulit yang dimanfaatkan untuk industri dan pupuk kandang sebagai salah satu sumber organik lahan pertanian.
Menurut penyusun ada satu lingkup lagi yang perlu ditambahkan; yaitu: Bagaimana kita memajukan industri peternakan di Indonesia, selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri juga untuk dapat bersaing dengan negara lain.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tantangan Sektor Peternakan di Era Globalisasi
Era globalisasi perdagangan yang merupakan pemberlakuannya perdagangan bebas antar negara menjadi tantangan baru dalam pembangunan peternakan, disamping sederetan persoalan peternakan yang melanda negara ini. Dalam globalisasi perdagangan, produksi peternakan dalam negeri harus mampu bersaing dengan produksi peternakan dari berbagai negara. Sehingga dapat dibayangkan betapa ketatnya persaingan antar produksi dalam mencari pangsa pasar (market segmention). Bahkan anekdot siapa yang kuat pasti dapat; seperti halnya hukum rimba, merupakan keniscayaan yang suka atau tidak suka akan dihadapi oleh pelaku industri peternakan bangsa ini.
Persaingan mendapatkan bahan baku produksi dan lahan peternakan juga merupakan permasalahan yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah dan pelaku peternakan dalam memajukan peternakan nasional di era globalisasi perdagangan. Belum lagi masalah penyakit ternak atau hewan menular lainnya. Perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) menetapkan bahwa pembatasan terhadap lalu lintas ternak dan hasil ternak dari suatu negara pengekspor yang dianggap tertular penyakit hewan menular tertentu harus dimotivasi oleh perlindungan kesehatan konsumen dan pengamanan kekayaan sumberdaya peternakan dari negara pengimpor. Sedangkan kelembagaan otoritas veteriner yang bertanggung jawab terhadap berbagai persoalan hewan dan penyakit hewan dalam rangka melindungi masyarakat terhadap ancaman bahaya penyakit hewan, melayani dalam medis veteriner, mensejahterakan dan membahagiakan manusia (manusya mriga satwa sewaka) kedudukannya masih lemah dinegara ini (Naipospos 2005), sehingga jangan heran jika permasalahan penyakit hewan mengancam industri peternakan nasional, terlebih zoonosis atau penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya, kasusnya semakin meningkat dan selalu berulang dari waktu kewaktu. Bahkan menurut Sofyan sudardjat Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perlindungan Tanaman dan Hewan, dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan penyakit hewan, pemerintah harus berhati-hati dan bijaksana. Contohnya adalah flu burung (Avian influenza), terlebih penyakit baru yang tidak ada di Indonesia seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Sapi Gila.
Selain itu, dalam era otonomi daerah yang digulirkan melalui Undang-Undang Pemerintah Daerah No.32 tahun 2004, peternakan merupakan salah satu sumber pendapatan ekonomi dan sumber daya daerah atau kekayaan daerah, sehingga belum ada kewajiban setiap daerah untuk mempunyai tatanan kelembagaan (dinas) peternakan. artinya, peternakan didaerah hanya ditempatkan kondisional atau jika diperlukan saja. Sehingga tidak mengherankan jika didaerah tertentu yang tidak memiliki potensi daerah untuk peternakan, karena daerah tersebut tidak memiliki dinas peternakan.

B.     Peran Sektor Peternakan
Meskipun demikian, peternakan tetap menjanjikan. Bahkan tidak berlebihan jika peternakan harus jadi unggulan. Hal ini sangat beralasan mengingat sektor peternakan merupakan salah satu sektor pertanian yang memiliki peranan cukup besar dalam perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia. Hampir diseluruh daerah di Indonesia kita temukan peternakan, baik peternakan yang berskala kecil maupun peternakan yang berskala besar. Bahkan menurut menteri pertanian (Mentan) Anton Apriyantono sub sektor peternakan telah menjadi salah satu sumber pertumbuhan yang tinggi disektor pertanian. Sejak tahun 2003 sub sektor ini telah mampu bangkit dari terpaan krisis tahun 1998-1999. level produksi seluruh komoditas peternakan sudah melampaui level tertinggi periode sebelum krisis. Kemampuan peternakan untuk eksis dalam menghadapi badai krisis ekonomi ini dapat pula dilihat pada tahun 2000-2003, laju peningkatan produksi ayam broiler dan petelur berturut-turut mencapai 23,4 dan 10,27 persen pertahun, padahal saat krisis ekonomi pernah mengalami penurunan yang sangat tajam, yaitu masing-masing 28,23 dan 8,92 persen per tahun. Bahkan peternakan mampu membuka lapangan pekerjaan kepada 2,54 juta masyarakat Indonesia yang bekerja disektor ini, yang tersebar baik di pedesaan maupun di perkotaan. Sehingga sektor ini diharapkan dapat menekan angka kemiskinan yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia pada medio tahun 2006 saja mencapai 3,95 juta orang.
Selain peranannya pada sektor ekonomi, sektor peternakan juga merupakan sektor yang mampu menyediakan kebutuhan protein hewani, yang berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Produk-produk peternakan seperti misalnya Telur, susu dan daging mempunyai kandungan nutrisi sebagai sumber protein dengan komposisi asam amino essensial yang dibutuhkan tubuh, terutama perkembangan otak manusia yang keberadaannya tidak dapat digantikan.

C.    Permasalahan Penyediaan Pangan di Indonesia
Rendahnya tingkat konsumsi hasil ternak, kondisi peternakan di Indonesia yang berskala kecil, persepsisalah tentang hasil ternak, dan dampak globalisasi pangan antara lain :
1.      Konsumsi Hasil Ternak Masyarakat Indonesia Tingkat konsumsi hasil ternak bagi masyarakat Indonesia, dinilai masih jauh dibawah kecukupan gizi yang dianjurkan. Berdasarkan analisis dari Pola Pangan Harapan (PPH), tingkat konsumsi masyarakat Indonesia akan protein asal ternak baru mencapai 5,1 g/kap/hr yang setara dengan konsumsi susu 7,5 kg/kap/th, daging 7,7 kg/kap/th, dan telur 4,7 kg/kap/th (Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2004). Tingkat konsumsi protein hasil ternak tersebut terhitung kecil dibanding jumlah konsumsi protein (total nabati dan hewani) yang  ianjurkan sebesar 46,2 g/kap/hr (Tranggono, 2004). Sebagai pembanding, konsumsi susu di Amerika, Jepang dan beberapa negara Eropa sudah lebih dari 80 kg/kap/th. Konsumsi susu beberapa Rendahnya Konsumsi Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro 7 negara ASEAN juga relatif tinggi, yaitu Philippina 18,8 kg/kap/th, Malaysia 22,5 kg/kap/th, Thailand 28,0 kg/kap/th dan Singapura 32 kg/kap/th (Haryono, 2007).
2.      Kondisi Peternakan dan Industri Pengolahan Peternakan di Indonesia hingga saat ini didominasi peternakan rakyat berskala kecil dan belum maju. Lebih khusus lagi kondisi industri pengolahan pangan dan hasil ternak dominan berskala kecil. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 916.182 industri makanan dan minuman di Indonesia, 5.612 (0,61%) industri skala besar dan menengah, 82.430  9,11%) industri skala kecil, dan 828.140 (90,28%) industri rumah tangga (Darmawan, 2001). Di Jawa Tengah ada sekitar 320 perusahaan pengolahan hasil ternak, 90% lebih adalah usaha kecil dan menengah (Kusmaningsih, 2005).
3.      Persepsi tentang Hasil Ternak Sebagian masyarakat beranggapan bahwa hasil ternak merupakan  angan sumber lemak dan kolesterol yang sangat membahayakan kesehatan. Sekelompok orang bahkan “berkampanye” untuk tidak mengkonsumsi hasil ternak. Gupta (2004) memasukkan hasil ternak dalam daftar makanan berbahaya sebagai pembunuh manusia, secara pelan Skala Usaha Kecil Pelurusan Persepsi 8 Peranan Teknologi Pangan … (Anang M Legowo) tetapi pasti. Salah persepsi tersebut akan berpengaruh terhadap konsumsi hasil ternak maupun upaya penyediaannya. Oleh sebab itu, perlu pemberian informasi kepada masyarakat tentang hasil ternak secara positif dan proporsional. Setidaknya ada tiga alasan untuk meluruskan persepsi tersebut. Pertama, tingkat konsumsi hasil ternak masyarakat Indonesia masih rendah, sehingga perlu ditingkatkan. Kedua, tingkat konsumsi lemak/minyak rata-rata masyarakat Indonesia relatif tidak tinggi, yaitu sekitar 10-17% dari total energi (Tranggono, 2001; 2004). Jumlah konsumsi lemak per hari disarankan tidak lebih dari 30% total energi (Almatsier, 2001). Rata-rata konsumsi lemak tersebut mungkin didominasi oleh konsumsi lemak masyarakat kota berpenghasilan menengah keatas, yang sering mengkonsumsi pangan berlemak tinggi seperti “junk food” dan sejenisnya. Dibalik itu, masih banyak masyarakat berpenghasilan rendah yang mengkonsumsi susu, daging, telur dan produk olahannya secara terbatas. Ketiga, lemak dan kolesterol dari hasil ternak yang dikhawatirkan mengganggu kesehatan tidak sepenuhnya benar. Tubuh memerlukan lemak dan kolesterol dalam jumlah tertentu untuk proses metabolisme. Kolesterol diperlukan untuk sintesa Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro 9 hormon steroid, menyusun membran sel otak dan saraf, serta prekursor vitamin D, dan garam empedu (Tranggono, 2001; Khomsan, 2003). Secara khusus, kolesterol juga digunakan: (a) oleh kelenjar adrenal untuk membentuk hormon adrenokortikal, (b) oleh ovarium untuk membentuk progesteron dan testosteron, (c) oleh testis untuk membentuk testosteron (Guyton dan Hall, 1997). Meskipun secara alami kolesterol sebagian diproduksi oleh tubuh, tetapi konsumsi kolesterol tetap diperlukan dalam jumlah terbatas, yaitu tidak melebihi 250 mg per hari. Ada contoh kasus individu yang dapat mengkonsumsi banyak kolesterol tetapi terbukti sehat. Raharjo (2004) melaporkan tentang seorang laki-laki tua yang mengkonsumsi 25 butir telur ayam setiap hari selama 15 tahun memiliki kadar kolesterol darah normal dalam kisaran 150-200 mg/dL. Padahal jumlah kolesterol dari 5 butir telur adalah sekitar 5000 mg atau 20 kali jumlah yang disarankan. Tim dokter dari University of Colorado School of Medicine, Amerika yang meneliti laki-laki tersebut menyatakan telah terjadi adaptasi fisiologis yang menyebabkan hanya sebagian kecil (18%) kolesterol diserap usus, serta terjadi peningkatan (2 kali lipat) kemampuan tubuh mengubah kolesterol menjadi asam empedu.












BAB III
PENUTUP
Berdasarkan keseluruhan uraian tersebut diatas, akhirnya dapat digaris bawahi beberapa hal sebagai kesimpulan berikut ini. Pertama, pengadaan produk olahan hasil ternak untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi protein heani masyarakat Indonesia masih dihadapkan pada masalah skala peternakan, salah persepsi, dan ketatnya kompetisi global. Kedua, peluang dan ketatnya persaingan dalam globalisasi pangan perlu dihadapi dengan pengembangan produk olahan hasil ternak yang inovatif dan kompetitif, yang sekaligus untuk menangkal keterjebakan pangan. Ketiga, teknologi pangan mempunyai peranan penting dalam pengembangan produk olahan hasil ternak saat ini dan dimasa mendatang, yaitu melalui:
(1) pengembangan produk pangan berbasis protein hewani, (2) pengembangan produk olahan dari ternak unggulan, (3) pengembangan produk makanan fungsional, (4) pengembangan hasil ternak rendah lemak dan kolesterol, (5) peningkatan mutu dan keamanan produk pangan hewani secara progresif. keempat, pengembangan produk pangan berbasis protein hewani dapat dilakukan dengan mendayagunakan sifat-sifat fungsionalnya. Protein whey susu memiliki potensi baik untuk dimanfaatkan secara optimal dalam industri pangan. Kelima, peningkatan mutu dan keamanan produk olahan hasil ternak harus terus diupayakan. Pelanggaran terhadap mutu dan keamanan pangan identik dengan kejahatan dan harus diberi sangsi hukum yang tegas.