BAB I
PENDAHULUAN
Paradigma baru pembangunan peternakan semakin nyata berorientasi pada manusia dimana pembangunan peternakan meletakkan peternak sebagai subyek, bukan semata-mata sebagai obyek dalam mencapai tujuan nasional. Berdasarkan paradigma tersebut maka visi pembangunan peternakan adalah terwujudnya masyarakat yang sehat, produktif dan kreatif melalui pembangunan peternakan tangguh berbasis sumberdaya lokal dengan misi penyediaan pangan asal ternak (daging, telur, susu), pemberdayaan sumberdaya manusia peternak, penciptaan peluang ekonomi dan lapangan kerja serta pelestarian/pemanfaatan sumberdaya alam. Peternak yang tangguh, mandiri dan profesional dicirikan peternak yang selalu mengikuti perkembangan iptek serta berpegang pada prinsip efisiensi dan mampu untuk tidak tergantung pada perlindungan/bantuan pemerintah tapi mampu berkompetisi secara sehat dan senantiasa siap menghadapi resiko usaha. Sumberdaya manusia peternakan adalah seluruh sumberdaya manusia yang terkait dengan dunia peternakan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti peternak, pengusaha yang bergerak dibidang peternakan (budidaya, obat-obatan, pakan dan sebagainya), peneliti serta mahasiswa bidang peternakan yang merupakan potensi besar untuk pengembangan peternakan di masa mendatang. Peningkatan kualitas hasil-hasil pembangunan peternakan sangat tergantung kepada kualitas sumberdaya manusianya melalui pendidikan formal dan informal.
BAB II
ISI
Kinerja sektor pertanian pada tahun 2008 tergolong sangat baik. Selama Triwulan 1 sampai dengan Triwulan 3 tahun 2008, laju pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6.3 persen. Sektor pertanian mampu tumbuh sebesar 4.3 persen. Dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (quarter to quarter), perekonomian Indonesia pada Triwulan 3 menunjukkan pertumbuhan sebesar 6.1 persen. Pertumbuhan terbesar pada tripulan 3 ditopang oleh pertumbuhan yang tinggi pada sub sektor pertanian sebesar 6.7 persen. Pertumbuhan yang tinggi di sektor pertanian tersebut ditopang oleh terjadinya pertumbuhan yang sangat tinggi di sub sektor perkebunan sebesar 29.3 persen. Kontribusi yang tinggi di sektor perkebunan terjadi karena meroketnya harga-harga komoditas ekspor di sub sektor ini. Pertumbuhan ekonomi di Triwulan 4 diperkirakan akan melambat mengingat dampak krisis finansial global, menurunnya harga komoditas dan melambatnya kinerja ekspor akan menghadang pertumbuhan ekonomi nasional.
Selama tahun 2008, sub sektor peternakan tidak ada hentinya diterpa badai yang dasyat, berbagai persoalan seperti misalnya flu burung (AI), anthrax, penyelundupan Meat Bone Meal (MBM) dan daging, kasus CLQ dan terus meningkatnya harga-harga jagung dan kedelai di pasar internasional yang menjadi bahan baku pakan mengganggu kinerja sub sektor peternakan. Persoalan yang kerap melanda dunia peternakan kita tersebut sangat mengganggu kinerja sub sektor peternakan. Kinerja sub sektor peternakan tidak sebaik sub sektor-sub sektor lainnya, seperti misalnya sub sektor pangan, hortikultur dan perkebunan. Indonesia tetap saja mengimpor daging sapi dan susu masing-masing sebesar 35 persen dan 70 persen dari kebutuhannya. Sebagian besar pakan masih diimpor dan 100 persen grand parent stocks ayam broiler masih tergantung impor.
Dalam jangka panjang tidaklah dapat dipungkiri bahwa permintaan terhadap komoditas-komoditas peternakan akan terus meningkat seiring dengan adanya pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan, perbaikan tingkat pendidikan, urbanisasi, perubahan gaya hidup (life style) dan peningkatan kesadaran akan gizi seimbang. Kondisi ini mencerminkan bahwa bisnis peternakan ke depan tetap memiliki prospek pasar yang baik dan berkelanjutan.
Peran dan prospek peternakan ke depan tetap memiliki peranan sosial dan ekonomi yang cukup signifikan walaupun dengan laju pertumbuhan kinerja yang melambat pada tahun 2009. Hal ini terjadi karena pertumbuhan perekonomian Indonesia pada tahun 2009 melambat yang diakibatkan oleh adanya krisis finansial global dan tetap tingginya harga minyak dan pangan. Masalah besar yang dihadapi terkait dengan krisis pangan, energi dan keuangan global (global food, feed, fuel and financial crisis) atau yang sering disebut 4F adalah (a) laju inflasi yang meningkat, (b) daya beli masyarakat dan pada gilirannya ekonomi yang melemah akibat tingginya inflasi, (c) neraca keuangan pemerintah yang tertekan akibat semakin besarnya subsidi pada harga jual komoditas di pasar domestik, dan (e) pasar keuangan yang tertekan sehubungan dengan prospek ekonomi yang menurun dan resiko investasi yang meningkat.
Komoditas peternakan mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan. Hal ini didukung oleh karakteristik produk yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan pasar yang potensial bagi agrobisnis peternakan. Beberapa peluang bisnis dalam mengembangkan agribisnis peternakan diantaranya adalah pertama, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai ± 220 juta jiwa merupakan konsumen yang sangat besar, dan masih tetap bertumbuh sekitar 1,4 persen per tahun. Kedua, kondisi geografis dan sumber daya alam yang mendukung usaha dan industri peternakan. Ketiga, meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang gizi. Keempat, jika pertumbuhan ekonomi berjalan dengan baik, maka akan meningkatkan pendapatan per kapita yang kemudian akan menaikkan daya beli masyarakat.
Peternakan tetap mempunyai prospek dan peluang yang baik untuk dikembangkan karena didukung oleh kondisi Indonesia yang memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage) dalam komponen biaya input untuk tenaga kerja yang relatif lebih murah dibandingkan negara lain di ASEAN. Selain itu potensi dalam mengembangkan produksi jagung nasional dapat mengurangi ketergantungan impor dan menurunkan biaya produksi, sehingga mampu meningkatkan skala usaha yang optimal. Integrasi secara vertikal (vertical integration) juga sudah mulai terlaksana dengan menerapkan pola-pola kemitraan (contract farming), dimana peternak sudah banyak bergabung dengan perusahaan inti sehingga jumlah pemeliharaan peternakan juga semakin meningkat dan mampu menjaga kualitas dari hasil komoditas peternakan tersebut.
Pengembangan bisnis peternakan mempunyai tantangan yang cukup besar akibat perubahan ekonomi ke depan. Melambatnya pertumbuhan ekonomi yang berakibat pada penurunan daya beli perlu dinatisipasi. Adanya liberalisasi perdagangan dunia yang akan meminimumkan restriksi perdagangan antar negara menimbulkan persaingan ketat antar negara di pasar dalam negeri maupun pasar internasional. Salah satu cara yang tepat untuk dapat menang dalam persaingan adalah melalui peningkatan dayasaing, baik dari sisi permintaan (demand) maupun dari sisi penawaran (supply).
Dari sisi permintaan, harus disadari bahwa permintaan konsumen terhadap suatu produk semakin kompleks yang menuntut berbagai atribut atau produk yang dipersepsikan bernilai tinggi oleh konsumen (consumer’s value perception). Jika dimasa lalu konsumen hanya mengevaluasi produk berdasarkan atribut utama yaitu jenis dan harga, maka sekarang ini dan dimasa yang akan datang, konsumen sudah menuntut atribut yang lebih rinci lagi seperti atribut keamanan produk (safety attributes), atribut nutrisi (nutritional attributes), atribut nilai (value attributes), atribut pengepakan (package attributes), atribut lingkungan (ecolabel attributes) dan atribut kemanusiaan (humanistic attributes). Bahkan aspek animal welfare yang menjadi persyaratan baru. Sedangkan dari sisi penawaran, produsen dituntut untuk dapat bersaing berkaitan dengan kemampuan merespons atribut produk yang diinginkan oleh konsumen secara efisien.
Bisnis peternakan mempunyai peranan yang besar terhadap perekonomian nasional, namun tidak dapat dielakkan bahwa komoditas ini sering mengalami permasalahan-permasalahan yang menghambat pengembangannya baik secara makro maupun mikro, diantaranya pertama, kurang tersedianya bahan baku, sehingga Indonesia masih harus mengimpor yang menyebabkan biaya produksi relatif tinggi. Kedua, iklim investasi (misalnya ekonomi biaya tinggi, proses perijinan yang lama dan berbelit, kurangnya sarana dan prasarana jalan dan transportasi, tidak adanya penegakan hukum yang ketat) belum kondusif bagi para investor. Ketiga, kenaikan harga BBM yang menyebabkan meningkatnya biaya produksi hasil peternakan. Keempat, krisis finansial global mengakibatkan adanya penurunan daya beli. Kelima, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang relatif rendah. Keenam, keterbatasan modal sehingga menghambat pengembangan usaha. Ketujuh, mewabahnya penyakit yang berkembang di beberapa daerah.
Last but not the least, pola masyarakat Indonesia selama ini masih terlalu bersandar kepada pangan nabati, khususnya beras yang diindikasikan oleh tingginya starchy staple ratio sebesar 63 persen. Disamping itu, kita masih punya ruang untuk enlarging the pies (memperbesar pangsa pasar produk-produk peternakan). Tingkat konsumsi protein hewani asal ternak masyarakat Indonesia masih di bawah rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, yaitu sebesar 6 gr/kap/hari. Saat ini pencapaian untuk daging adalah 3.35 gr/kap/hari, telur 1.77 gr/kap/hari dan susu 0.6 gr/kap/hari, total 5.72 gr/kap/hari. Upaya promosi yang sistematis perlu kita galakkan bersama. Di berbagai lokasi strategis perlu ada iklan-iklan yang mendidik (misalnya “Apakah Anda telah memakan daging dan telur yang cukup hari ini?”) yang mengingatkan tentang pentingnya protein hewani untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia ke depan. Jika tidak, Human Development Index (HDI) kita tetap saja di bawah negara-negara tetangga kita. HDI kita pada tahun 2007/2008 berada pada urutan 107 dari 177 negara, sementara Malaysia (peringkat 63), Singapura (25), Thailand (78), Brunei (30), dan bahkan Vietnam berada pada peringkat yang lebih baik dari kita (105).
BAB III
PENUTUP
Mengingat pentingnya protein hewani asal ternak (daging, susu dan telur) bagi manusia, maka konsumsi produk ternak semestinya dipacu menuju tingkat konsumsi ideal. Protein hewani asal ternak memiliki komposisi asam amino yang lengkap dan dibutuhkan tubuh. Karena itu, langkah mengurangi konsumsi daging dan telur agaknya bukanlah langkah bijak. Tidak tepat konsumen ragu memakan daging dan telur ayam yang diolah secara benar meskipun wabah flu burung hingga kini belum berhasil diberantas dengan tuntas. Konsumsi protein hewani penduduk Indonesia harus dipacu kearah ideal untuk mewujudkan SDM yang cerdas, kreatif, produktif dan sehat. Dengan tersedianya pangan hewani bergizi tinggi pada tingkat rumahtangga petani maka diharapkan ketahanan pangan dapat terjadi pada tingkat rumahtangga sehingga kasus malnutrisi dapat dicegah secara sistematis. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah peranan ternak dan produk peternakan sebagai sumber pendapatan dan sumber lapangan kerja yang efektif dalam pengentasan kemiskinan di perdesaan. Untuk mengakhiri tulisan ini agaknya pantas kita renungkan sebuah pepatah berbahasa Arab yang dikutip dalam Campbell dan Lasley (1985), yang berbunyi sebagai berikut : “Negara yang kaya dengan ternak tidak akan pernah miskin. Negara yang miskin dengan ternak tidak akan pernah kaya”. Ayo majukan sektor peternakan.
No comments:
Post a Comment
Comment Me