BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-Asia Tenggara, jumlah penduduknya kurang lebih 220 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,5% per tahun merupakan negara yang mempunyai beraneka ragam kekayaan alam. Kekayaan alam tersebut bukan hanya terdapat pada sektor kekayaan alam migas seperti minyak bumi dan bahan tambang saja, namun juga kekayaan alam non-migas seperti tersedianya lahan pertanian yang cukup luas. Namun semua itu ternyata belum cukup untuk memberikan solusi atas permasalahan yang ada, permasalahan seperti kurang memadainya kebutuhan pangan, jika kekayaan tersebut tidak diberdayakan secara optimal dan dilandaskan oleh aturan dan kebijakan yang mendukung didalamnya.
Salah satu permasalahan yang paling crusial adalah pemenuhan kebutuhan pangan, terutama kebutuhan protein hewani. Pemenuhan kebutuhan pangan ini sangat erat hubungannya dengan sektor pertanian dalam arti yang luas, sehingga tidak heran jika pertanian menjadi bagian penting dalam pembangunan bangsa Indonesia. Salah satu sektor dari pertanian tersebut adalah sub sektor peternakan. Karena sector ini memiliki kontribusi yang sangat besar dalam rangka pengentasan gizi buruk di Indonesia. Sektor peternakan mampu menghasilkan produk berupa susu, daging, telur, serta produk olahan lainnya yang nilai gizinya sangat dibutuhkan oleh tubuh. Yang menjadi permasalahan di negara kita adalah minimnya pendapatan penduduk, yang mengakibatkan daya beli masyarakat terhadap produk-produk ternak menjadi rendah. Di sisi lain adanya sifat masyarakai Indonesia yang terlalu percaya dengan isu tanpa menganalisa atau mencari informasi atas isu-isu yang sedang hangat dibicarakan. Seperti ketika isu flu burung merebak. Masyarakat langsung merasa takuk untuk kembali mengkonsumsi segala macam produk unggas. Baik dagingnya, maupun telurnya. Padahal bakteri dan virus akan mati jika dimasak dalam suhu tertentu. Masalah-masalah inilah yang terus menjadi kendala bagi sektor peternakan.
Salah satu permasalahan yang paling crusial adalah pemenuhan kebutuhan pangan, terutama kebutuhan protein hewani. Pemenuhan kebutuhan pangan ini sangat erat hubungannya dengan sektor pertanian dalam arti yang luas, sehingga tidak heran jika pertanian menjadi bagian penting dalam pembangunan bangsa Indonesia. Salah satu sektor dari pertanian tersebut adalah sub sektor peternakan. Karena sector ini memiliki kontribusi yang sangat besar dalam rangka pengentasan gizi buruk di Indonesia. Sektor peternakan mampu menghasilkan produk berupa susu, daging, telur, serta produk olahan lainnya yang nilai gizinya sangat dibutuhkan oleh tubuh. Yang menjadi permasalahan di negara kita adalah minimnya pendapatan penduduk, yang mengakibatkan daya beli masyarakat terhadap produk-produk ternak menjadi rendah. Di sisi lain adanya sifat masyarakai Indonesia yang terlalu percaya dengan isu tanpa menganalisa atau mencari informasi atas isu-isu yang sedang hangat dibicarakan. Seperti ketika isu flu burung merebak. Masyarakat langsung merasa takuk untuk kembali mengkonsumsi segala macam produk unggas. Baik dagingnya, maupun telurnya. Padahal bakteri dan virus akan mati jika dimasak dalam suhu tertentu. Masalah-masalah inilah yang terus menjadi kendala bagi sektor peternakan.
B. Tujuan
Diharapkan baik penyusun maupun pembaca dapat lebih memahami dan menerapkan ilmu peternakan ini dalam kehidupan sehari-hari.
Melengkapi uji kompentensi mata kuliah PIIP dan agar peternakan sapi menghasilkan daging sebagai sumber protein, susu, kulit yang dimanfaatkan untuk industri dan pupuk kandang sebagai salah satu sumber organik lahan pertanian.
Menurut penyusun ada satu lingkup lagi yang perlu ditambahkan; yaitu: Bagaimana kita memajukan industri peternakan di Indonesia, selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri juga untuk dapat bersaing dengan negara lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tantangan Sektor Peternakan di Era Globalisasi
Era globalisasi perdagangan yang merupakan pemberlakuannya perdagangan bebas antar negara menjadi tantangan baru dalam pembangunan peternakan, disamping sederetan persoalan peternakan yang melanda negara ini. Dalam globalisasi perdagangan, produksi peternakan dalam negeri harus mampu bersaing dengan produksi peternakan dari berbagai negara. Sehingga dapat dibayangkan betapa ketatnya persaingan antar produksi dalam mencari pangsa pasar (market segmention). Bahkan anekdot siapa yang kuat pasti dapat; seperti halnya hukum rimba, merupakan keniscayaan yang suka atau tidak suka akan dihadapi oleh pelaku industri peternakan bangsa ini.
Persaingan mendapatkan bahan baku produksi dan lahan peternakan juga merupakan permasalahan yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah dan pelaku peternakan dalam memajukan peternakan nasional di era globalisasi perdagangan. Belum lagi masalah penyakit ternak atau hewan menular lainnya. Perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) menetapkan bahwa pembatasan terhadap lalu lintas ternak dan hasil ternak dari suatu negara pengekspor yang dianggap tertular penyakit hewan menular tertentu harus dimotivasi oleh perlindungan kesehatan konsumen dan pengamanan kekayaan sumberdaya peternakan dari negara pengimpor. Sedangkan kelembagaan otoritas veteriner yang bertanggung jawab terhadap berbagai persoalan hewan dan penyakit hewan dalam rangka melindungi masyarakat terhadap ancaman bahaya penyakit hewan, melayani dalam medis veteriner, mensejahterakan dan membahagiakan manusia (manusya mriga satwa sewaka) kedudukannya masih lemah dinegara ini (Naipospos 2005), sehingga jangan heran jika permasalahan penyakit hewan mengancam industri peternakan nasional, terlebih zoonosis atau penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya, kasusnya semakin meningkat dan selalu berulang dari waktu kewaktu. Bahkan menurut Sofyan sudardjat Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perlindungan Tanaman dan Hewan, dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan penyakit hewan, pemerintah harus berhati-hati dan bijaksana. Contohnya adalah flu burung (Avian influenza), terlebih penyakit baru yang tidak ada di Indonesia seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Sapi Gila.
Selain itu, dalam era otonomi daerah yang digulirkan melalui Undang-Undang Pemerintah Daerah No.32 tahun 2004, peternakan merupakan salah satu sumber pendapatan ekonomi dan sumber daya daerah atau kekayaan daerah, sehingga belum ada kewajiban setiap daerah untuk mempunyai tatanan kelembagaan (dinas) peternakan. artinya, peternakan didaerah hanya ditempatkan kondisional atau jika diperlukan saja. Sehingga tidak mengherankan jika didaerah tertentu yang tidak memiliki potensi daerah untuk peternakan, karena daerah tersebut tidak memiliki dinas peternakan.
B. Peran Sektor Peternakan
Meskipun demikian, peternakan tetap menjanjikan. Bahkan tidak berlebihan jika peternakan harus jadi unggulan. Hal ini sangat beralasan mengingat sektor peternakan merupakan salah satu sektor pertanian yang memiliki peranan cukup besar dalam perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia. Hampir diseluruh daerah di Indonesia kita temukan peternakan, baik peternakan yang berskala kecil maupun peternakan yang berskala besar. Bahkan menurut menteri pertanian (Mentan) Anton Apriyantono sub sektor peternakan telah menjadi salah satu sumber pertumbuhan yang tinggi disektor pertanian. Sejak tahun 2003 sub sektor ini telah mampu bangkit dari terpaan krisis tahun 1998-1999. level produksi seluruh komoditas peternakan sudah melampaui level tertinggi periode sebelum krisis. Kemampuan peternakan untuk eksis dalam menghadapi badai krisis ekonomi ini dapat pula dilihat pada tahun 2000-2003, laju peningkatan produksi ayam broiler dan petelur berturut-turut mencapai 23,4 dan 10,27 persen pertahun, padahal saat krisis ekonomi pernah mengalami penurunan yang sangat tajam, yaitu masing-masing 28,23 dan 8,92 persen per tahun. Bahkan peternakan mampu membuka lapangan pekerjaan kepada 2,54 juta masyarakat Indonesia yang bekerja disektor ini, yang tersebar baik di pedesaan maupun di perkotaan. Sehingga sektor ini diharapkan dapat menekan angka kemiskinan yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia pada medio tahun 2006 saja mencapai 3,95 juta orang.
Selain peranannya pada sektor ekonomi, sektor peternakan juga merupakan sektor yang mampu menyediakan kebutuhan protein hewani, yang berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Produk-produk peternakan seperti misalnya Telur, susu dan daging mempunyai kandungan nutrisi sebagai sumber protein dengan komposisi asam amino essensial yang dibutuhkan tubuh, terutama perkembangan otak manusia yang keberadaannya tidak dapat digantikan.
C. Permasalahan Penyediaan Pangan di Indonesia
Rendahnya tingkat konsumsi hasil ternak, kondisi peternakan di Indonesia yang berskala kecil, persepsisalah tentang hasil ternak, dan dampak globalisasi pangan antara lain :
1. Konsumsi Hasil Ternak Masyarakat Indonesia Tingkat konsumsi hasil ternak bagi masyarakat Indonesia, dinilai masih jauh dibawah kecukupan gizi yang dianjurkan. Berdasarkan analisis dari Pola Pangan Harapan (PPH), tingkat konsumsi masyarakat Indonesia akan protein asal ternak baru mencapai 5,1 g/kap/hr yang setara dengan konsumsi susu 7,5 kg/kap/th, daging 7,7 kg/kap/th, dan telur 4,7 kg/kap/th (Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2004). Tingkat konsumsi protein hasil ternak tersebut terhitung kecil dibanding jumlah konsumsi protein (total nabati dan hewani) yang ianjurkan sebesar 46,2 g/kap/hr (Tranggono, 2004). Sebagai pembanding, konsumsi susu di Amerika, Jepang dan beberapa negara Eropa sudah lebih dari 80 kg/kap/th. Konsumsi susu beberapa Rendahnya Konsumsi Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro 7 negara ASEAN juga relatif tinggi, yaitu Philippina 18,8 kg/kap/th, Malaysia 22,5 kg/kap/th, Thailand 28,0 kg/kap/th dan Singapura 32 kg/kap/th (Haryono, 2007).
2. Kondisi Peternakan dan Industri Pengolahan Peternakan di Indonesia hingga saat ini didominasi peternakan rakyat berskala kecil dan belum maju. Lebih khusus lagi kondisi industri pengolahan pangan dan hasil ternak dominan berskala kecil. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 916.182 industri makanan dan minuman di Indonesia, 5.612 (0,61%) industri skala besar dan menengah, 82.430 9,11%) industri skala kecil, dan 828.140 (90,28%) industri rumah tangga (Darmawan, 2001). Di Jawa Tengah ada sekitar 320 perusahaan pengolahan hasil ternak, 90% lebih adalah usaha kecil dan menengah (Kusmaningsih, 2005).
3. Persepsi tentang Hasil Ternak Sebagian masyarakat beranggapan bahwa hasil ternak merupakan angan sumber lemak dan kolesterol yang sangat membahayakan kesehatan. Sekelompok orang bahkan “berkampanye” untuk tidak mengkonsumsi hasil ternak. Gupta (2004) memasukkan hasil ternak dalam daftar makanan berbahaya sebagai pembunuh manusia, secara pelan Skala Usaha Kecil Pelurusan Persepsi 8 Peranan Teknologi Pangan … (Anang M Legowo) tetapi pasti. Salah persepsi tersebut akan berpengaruh terhadap konsumsi hasil ternak maupun upaya penyediaannya. Oleh sebab itu, perlu pemberian informasi kepada masyarakat tentang hasil ternak secara positif dan proporsional. Setidaknya ada tiga alasan untuk meluruskan persepsi tersebut. Pertama, tingkat konsumsi hasil ternak masyarakat Indonesia masih rendah, sehingga perlu ditingkatkan. Kedua, tingkat konsumsi lemak/minyak rata-rata masyarakat Indonesia relatif tidak tinggi, yaitu sekitar 10-17% dari total energi (Tranggono, 2001; 2004). Jumlah konsumsi lemak per hari disarankan tidak lebih dari 30% total energi (Almatsier, 2001). Rata-rata konsumsi lemak tersebut mungkin didominasi oleh konsumsi lemak masyarakat kota berpenghasilan menengah keatas, yang sering mengkonsumsi pangan berlemak tinggi seperti “junk food” dan sejenisnya. Dibalik itu, masih banyak masyarakat berpenghasilan rendah yang mengkonsumsi susu, daging, telur dan produk olahannya secara terbatas. Ketiga, lemak dan kolesterol dari hasil ternak yang dikhawatirkan mengganggu kesehatan tidak sepenuhnya benar. Tubuh memerlukan lemak dan kolesterol dalam jumlah tertentu untuk proses metabolisme. Kolesterol diperlukan untuk sintesa Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro 9 hormon steroid, menyusun membran sel otak dan saraf, serta prekursor vitamin D, dan garam empedu (Tranggono, 2001; Khomsan, 2003). Secara khusus, kolesterol juga digunakan: (a) oleh kelenjar adrenal untuk membentuk hormon adrenokortikal, (b) oleh ovarium untuk membentuk progesteron dan testosteron, (c) oleh testis untuk membentuk testosteron (Guyton dan Hall, 1997). Meskipun secara alami kolesterol sebagian diproduksi oleh tubuh, tetapi konsumsi kolesterol tetap diperlukan dalam jumlah terbatas, yaitu tidak melebihi 250 mg per hari. Ada contoh kasus individu yang dapat mengkonsumsi banyak kolesterol tetapi terbukti sehat. Raharjo (2004) melaporkan tentang seorang laki-laki tua yang mengkonsumsi 25 butir telur ayam setiap hari selama 15 tahun memiliki kadar kolesterol darah normal dalam kisaran 150-200 mg/dL. Padahal jumlah kolesterol dari 5 butir telur adalah sekitar 5000 mg atau 20 kali jumlah yang disarankan. Tim dokter dari University of Colorado School of Medicine, Amerika yang meneliti laki-laki tersebut menyatakan telah terjadi adaptasi fisiologis yang menyebabkan hanya sebagian kecil (18%) kolesterol diserap usus, serta terjadi peningkatan (2 kali lipat) kemampuan tubuh mengubah kolesterol menjadi asam empedu.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan keseluruhan uraian tersebut diatas, akhirnya dapat digaris bawahi beberapa hal sebagai kesimpulan berikut ini. Pertama, pengadaan produk olahan hasil ternak untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi protein heani masyarakat Indonesia masih dihadapkan pada masalah skala peternakan, salah persepsi, dan ketatnya kompetisi global. Kedua, peluang dan ketatnya persaingan dalam globalisasi pangan perlu dihadapi dengan pengembangan produk olahan hasil ternak yang inovatif dan kompetitif, yang sekaligus untuk menangkal keterjebakan pangan. Ketiga, teknologi pangan mempunyai peranan penting dalam pengembangan produk olahan hasil ternak saat ini dan dimasa mendatang, yaitu melalui:
(1) pengembangan produk pangan berbasis protein hewani, (2) pengembangan produk olahan dari ternak unggulan, (3) pengembangan produk makanan fungsional, (4) pengembangan hasil ternak rendah lemak dan kolesterol, (5) peningkatan mutu dan keamanan produk pangan hewani secara progresif. keempat, pengembangan produk pangan berbasis protein hewani dapat dilakukan dengan mendayagunakan sifat-sifat fungsionalnya. Protein whey susu memiliki potensi baik untuk dimanfaatkan secara optimal dalam industri pangan. Kelima, peningkatan mutu dan keamanan produk olahan hasil ternak harus terus diupayakan. Pelanggaran terhadap mutu dan keamanan pangan identik dengan kejahatan dan harus diberi sangsi hukum yang tegas.
No comments:
Post a Comment
Comment Me