Tuesday, May 17, 2016

Hunbungan Antara Hormon, Pakan, dan Suhu Pada Pertumbuhan Ayam Broiler (Bobot Badan, Pertumbuhan Bobot Badan, FCR)

BAB I
Tingginya  suhu  lingkungan  di  daerah tropis,  dapat  merupakan  beban  bagi ternak unggas dalam mempertahankan pertumbuhan dan  produksinya.  Suhu  rata-rata  di  daerah tropis adalah 29,8 - 36,9°C pada siang hari dan 12,4 - 24,2°C pada malam hari (BPS, 2001), lebih tinggi dibandingkan suhu nyaman bagi ayam  broiler  yakni 18 -22°C (CHARLES, 2002).   Ayam broiler termasuk hewan homeothermis yakni suhu tubuhnya relative konstan sekalipun suhu lingkungan berubah-ubah, sehingga tingginya suhu lingkungan dapat menyebabkan terjadinya penimbunan panas tubuh yang memang mutlak harus dikeluarkan. Pada ungas termasuk ayam broiler, pengeluaran panas tubuh akan dibatasi karena adanya bulu serta tidak aktifnya kelenjar keringat. Akibat utama dari pendadahan ayam broiler pada suhu tinggi, dapat menurunkan konsumsi ransum yang tentunya akan diikuti dengan rendahnya produksi, berarti secara ekonomis akan mengalami kerugian yang sedikit.
         
Pengaruh Cekaman Suhu Terhadap Kandungan Hormon Tiroid
Sebagai  usaha  untuk  mengurangi  produksi panas dalam tubuh maka ternak tersebut akan mengurangi mengkonsumsi ransum. Selain itu, energi yang dihasilkan dari konsumsi ransum yang  rendah  akan  banyak  terbuang  melalui pengeluaran kelenjar keringat dan penguapan melalui mulut (panting). Akibatnya pada suhu lingkungan yang tinggi, selain akan menurunkan sekresi hormon tiroid, juga akan menurunkan produksi. Berikut disajikan hubungan suhu lingkungan dengan kandungan hormon  triiodotironin (T3)   plasma   serta kaitannya terhadap pertambahan bobot badan.
Pada penelitian Kusnadi et al. (2006) dapat dilihat bahwa kandungan hormon T3 plasma pada umur 4 dan 6 minggu yang  dipelihara  pada  suhu  rendah  dengan makanan ad libitum (S1A) masing-masing 2,84 dan 1,71 nmol/l, terbukti menurun pada kondisi kekurangan makanan menjadi  1,97 dan  1,50 nmol/l pada umur 4 minggu dan menjadi 1,40 dan 1,50 nmol/l pada umur 6 minggu (S1BT1 dan S1BT2). Selanjutnya nampak pula bahwa penurunan kandungan hormon T3 lebih besar terjadi pada kondisi cekaman panas (pada S2A dan pada S3A).
Turunnya   T3     baik   pada   kekurangan makanan  maupun  kondisi  cekaman  panas, ternyata  sejalan  dengan  turunnya  PBB  baik pada umur 4 minggu maupun umur 6 minggu. Rendahnya  hormon  triiodotironin  pada  suhu panas,   erat   kaitannya   dengan   turunnya konsumsi  oksigen  serta  metabolisme  secara umum (GERART et al., 1996; DECUYPERE dan BUYSE, 2005).  Akibatnya  terjadi  penurunan baik  pada  protein  daging  maupun  dalam pertumbuhan (KUSNADI et al., 2006).

Pengaruh Lingkungan terhadap Konsumsi, PBB, dan FCR

Penelitian LU et al.  (2007) menunjukkan bahwa  konsumsi  ransum  dan pertambahan bobot badan (PBB) ayam broiler umur 5 s/d 8 minggu yang dipelihara pada suhu lingkungan 21°C adalah 169,9 g/hari dan 61,45 g/hari, ke duanya nyata lebih tinggi dibandingkan pada suhu  lingkungan  34°C  yakni  masing-masing 93,6 g/hari dan 22,29 g/hari. Begitu pula ketika pada  suhu  21°C  diberikan  ransum  sebanyak yang  diberikan  pada  suhu 34°C,  PBB  pada suhu 21°C  tetap  lebih  tinggi  dibandingkan pada  suhu 34°C (29,45  vs 22,29  g/hari). Penelitian ini membuktikan pula bahwa suhu tinggi  dengan  konsumsi  ransum  yang  sama dengan pada suhu rendah, dapat meningkatkan kandungan  lemak  abdomen,  lemak  subkutan dan   lemak   intermuskular.
Turunnya produksi pada kondisi cekaman panas tersebut, diperkuat dengan berkurangnya retensi nitrogen, sehingga dapat menurunkan daya cerna protein dan beberapa asam amino (GERAERT et al.,  1996; TABIRI et al.,  2000). Selain  itu  dilaporkan  pula  bahwa  turunnya produksi  pada  ternak  yang  dipelihara  pada suhu   tinggi   antara   lain   karena   adanya perubahan pada sistem hormonalnya. Dilaporkan bahwa suhu lingkungan yang tinggi, ternyata menurunkan kandungan hormon tiroid dan  beberapa  hormon  reproduksi,  sementara hormon  yang  berasal  dari  korteks  adrenal (seperti  kortisol  dan  kortikosteron)  justru meningkat.
Penelitian Sugito dan Mira (2009) bahwa pemberian cekaman panas dengan suhu kandang 33±1 0C selama 4 jam per hari selama 14 hari sejak ayam berumur 20 hari dapat  menurunkan  (P<0 nbsp="" pertambahan="" span=""> bobot badan ayam tetapi tidak berpengaruh (P>0,05)  terhadap  rasio  konversi pakan. Penurunan  bobot  badan  ini  disebabkan selama  mengalami cekaman  panas,  ayam mengurangi   pakan   dan   meningkatkan konsumsi  air  minum  agar  pembentukan panas endoterm tubuhnya dapat berkurang. Di  sisi  lain,  kurangnya asupan  pakan  ini menyebabkan  kebutuhan  energi  dan  zat gizi  lainnya  untuk  pertumbuhan  menjadi berkurang (Al-Fataftah  dan  Abu-Dieyeh, 2007). Hal ini juga terlihat dari rasio konversi pakan pada perlakuan kontrol  (tanpa diberi stres panas). Meskipun  secara  statistik  tidak berpengaruh, tetapi rata-rata RKPnya lebih rendah dari kelompok  ayam  yang  diberi  stres  panas. Menurut  Cooper  dan  Washburn (1998) temperatur  dan  kelembaban  yang  lebih rendah   ini   akan   dapat   meningkatkan efisiensi  penggunaan  ransum (nilai  FCR yang  lebih  rendah),  karena  ayam  tidak perlu   lagi   mengeluarkan   energi   untuk mengatasi cekaman panas. Pada penelitian ini, pemberian stres panas dapat menyebabkan kehilangan rata-rata   bobot   badan   sebesar 15%   jika dibandingkan  dengan  pertambahan bobot badan ayam pada perlakuan tanpa cekaman panas  (yang tidak diberi cekaman panas). Tingkat  penurunan  bobot  badan  sebesar 15%   tersebut   jauh   lebih   rendah   jika dibandingkan   dengan   laporan   peneliti lainnya. Menurut Kuczynski  (2002) bahwa pemeliharaan ayam broiler sampai umur 35 hari  pada  suhu  di  atas 31ºC  dapat menyebabkan   penurunan   bobot   badan mencapai 25%  jika  dibadingkan  dengan pemeliharaan   pada   suhu 21,1-22,2ºC.

Dari  uraian  di  atas  dapat  disimpulkan bahwa:
1.      Cekaman panas atau cekaman dingin dapat menyebabkan penurunan kandungan hormon   tiroid   dan   berefek terhadap rendahnya produksi.
2.      Dampak  pemberian stres panas sejak ayam broiler umur 20 hari pada suhu 33 ± 1 0C selama 4 jam per hari dengan   lama   waktu 14   hari   dapat menurunkan  pertambahan  bobot  badan tetapi   belum   berdampak terhadap  nilai  rasio  konversi  pakan.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Fataftah,   A.R.A.   and   Z.H.M.   Abu-Dieyeh. 2007.  Effect  of  Chronic Heat Stress on Broiler Performance in Jordan. Intern. J. Poult. Sci. 6(1): 64-70.

CHARLES,  D.R. 2002.  Responses  to  the  thermal environment.  In:  Environment  Problem,  Aguide to solution. CHARLES,  D.A. and A.W.WALKER      (Eds.). Nottingham,    United Kingdom, pp. 1 - 16.

Cooper,  M.A.  and  K.W.  Washburn.  1998.The    Relationships    of    Body Temperature to Weight Gain, Feed Consumption, and Feed Utilizationin   Broilers   under   Heat   Stress.Poult. Sci. 77:237-242

DECUYPERE,  E.  and  J.  BUYSE. 2005.  Endocrine control  of  postnatal  growth  in  poultry.  J.Poult. Sci. 42: 1 - 13.

GERAERT, P.A., J.C.F. PADILHA and S. GUILLAUMIN. 1996.  Metabolic  and  endocrine  changes  bychronic  heat  exposure  in  broiler  chickens:biological and endocrinological variables. Br.J. Nutr.75: 205 - 216.

Kuczynski,  T. 2002.  The  application  of poultry  behaviour  responses  on heat stress to improve heating andventilation systems efficiency. Electr. J. Pol. Agric. Univ. Vol.  5and Issue 1.

KUSNADI, E., R. WIDJAJAKUSUMA, T. SUTARDI, P.S.HARDJOSWORO    dan   A.    HABIBIE.            2006.Pemberian  Antanan (Centella  asiatica)  danVitamin  C  sebagai  Upaya  Mengatasi  EfekCekaman   Panas   pada   Broiler.   Media Peternakan 29(3): 133 - 140.

LU,  Q.,  J.  WEN  and  H.  ZHANG.  2007.  Effect  of Chronic heat exposure on fat deposition and meat quality in two genetic types of chicken. Poult. Sci. 86: 1059 - 1064.


TABIRI, H.Y., K.SATO, K. TAKAHASHI, M. TOYOMIZUand  Y.  AKIBA.  2000.  Effects  of  acute  heatstress on plasma amino acids concentration of broiler chickens. Jpn Poult Sci. 37: 86 - 94.

No comments:

Post a Comment

Comment Me