Tingginya suhu
lingkungan di daerah tropis, dapat merupakan beban
bagi ternak unggas dalam mempertahankan
pertumbuhan dan produksinya. Suhu
rata-rata di daerah tropis adalah 29,8 - 36,9°C pada siang
hari dan 12,4 - 24,2°C pada malam hari (BPS, 2001), lebih tinggi dibandingkan
suhu nyaman bagi ayam broiler yakni 18 -22°C (CHARLES, 2002). Ayam broiler termasuk hewan homeothermis yakni suhu tubuhnya relative konstan sekalipun suhu
lingkungan berubah-ubah, sehingga tingginya suhu lingkungan dapat menyebabkan
terjadinya penimbunan panas tubuh yang memang mutlak harus dikeluarkan. Pada
ungas termasuk ayam broiler, pengeluaran panas tubuh akan dibatasi karena
adanya bulu serta tidak aktifnya kelenjar keringat. Akibat utama dari
pendadahan ayam broiler pada suhu tinggi, dapat menurunkan konsumsi ransum yang
tentunya akan diikuti dengan rendahnya produksi, berarti secara ekonomis akan mengalami
kerugian yang sedikit.
Pengaruh Cekaman Suhu Terhadap Kandungan Hormon Tiroid
Sebagai usaha
untuk mengurangi produksi panas dalam tubuh maka ternak
tersebut akan mengurangi mengkonsumsi ransum. Selain itu, energi yang dihasilkan dari konsumsi ransum yang rendah
akan banyak terbuang
melalui pengeluaran kelenjar keringat dan penguapan melalui mulut
(panting). Akibatnya pada suhu lingkungan yang tinggi, selain akan menurunkan
sekresi hormon tiroid, juga akan menurunkan produksi. Berikut disajikan
hubungan suhu lingkungan dengan kandungan hormon triiodotironin (T3) plasma
serta kaitannya terhadap pertambahan bobot badan.
Pada penelitian Kusnadi et al. (2006) dapat dilihat bahwa kandungan hormon T3 plasma pada umur 4 dan 6 minggu yang dipelihara
pada suhu rendah
dengan makanan ad libitum (S1A) masing-masing 2,84 dan 1,71 nmol/l,
terbukti menurun pada kondisi kekurangan makanan menjadi 1,97 dan
1,50 nmol/l pada umur 4 minggu dan menjadi 1,40 dan
1,50 nmol/l pada umur 6 minggu (S1BT1 dan S1BT2). Selanjutnya nampak pula bahwa
penurunan kandungan hormon T3 lebih besar terjadi pada kondisi
cekaman panas (pada S2A dan pada S3A).
Turunnya T3 baik
pada kekurangan makanan maupun
kondisi cekaman panas, ternyata sejalan
dengan turunnya PBB
baik pada umur 4 minggu maupun umur 6 minggu. Rendahnya hormon
triiodotironin pada suhu panas, erat kaitannya
dengan turunnya konsumsi oksigen
serta metabolisme secara umum (GERART et al., 1996; DECUYPERE
dan BUYSE, 2005). Akibatnya terjadi
penurunan baik pada protein
daging maupun dalam pertumbuhan (KUSNADI et al., 2006).
Pengaruh Lingkungan terhadap Konsumsi, PBB,
dan FCR
Penelitian LU
et al. (2007) menunjukkan bahwa konsumsi
ransum dan pertambahan
bobot badan (PBB) ayam broiler umur 5 s/d 8 minggu
yang dipelihara pada suhu lingkungan 21°C adalah 169,9 g/hari dan 61,45 g/hari,
ke duanya nyata lebih tinggi dibandingkan pada suhu lingkungan
34°C yakni masing-masing 93,6 g/hari dan 22,29 g/hari.
Begitu pula ketika pada suhu 21°C
diberikan ransum sebanyak yang
diberikan pada suhu 34°C,
PBB pada suhu 21°C tetap
lebih tinggi dibandingkan pada suhu 34°C (29,45 vs 22,29 g/hari). Penelitian
ini membuktikan pula bahwa suhu tinggi
dengan konsumsi ransum
yang sama dengan pada suhu
rendah, dapat meningkatkan kandungan lemak abdomen,
lemak subkutan dan lemak
intermuskular.
Turunnya
produksi pada kondisi cekaman panas tersebut, diperkuat dengan berkurangnya retensi
nitrogen, sehingga dapat menurunkan daya cerna protein
dan beberapa asam amino (GERAERT et al.,
1996; TABIRI et al., 2000). Selain itu dilaporkan
pula bahwa turunnya produksi pada ternak yang
dipelihara pada suhu tinggi
antara lain karena
adanya perubahan pada sistem hormonalnya. Dilaporkan bahwa suhu lingkungan
yang tinggi, ternyata menurunkan kandungan hormon tiroid dan beberapa
hormon reproduksi, sementara hormon yang berasal dari
korteks adrenal (seperti kortisol
dan kortikosteron) justru meningkat.
Penelitian Sugito dan Mira (2009) bahwa pemberian cekaman panas dengan suhu kandang 33±1 0C selama 4 jam per
hari selama 14 hari sejak ayam berumur 20 hari dapat menurunkan
(P<0 nbsp="" pertambahan="" span=""> bobot
badan ayam tetapi tidak berpengaruh (P>0,05)
terhadap rasio konversi pakan. Penurunan bobot
badan ini disebabkan selama mengalami cekaman panas,
ayam mengurangi pakan dan
meningkatkan konsumsi air minum
agar pembentukan panas endoterm
tubuhnya dapat berkurang. Di sisi lain,
kurangnya asupan pakan ini menyebabkan kebutuhan
energi dan zat gizi
lainnya untuk pertumbuhan
menjadi berkurang (Al-Fataftah
dan Abu-Dieyeh, 2007).
Hal ini juga terlihat dari rasio konversi pakan pada perlakuan kontrol (tanpa diberi stres panas).
Meskipun secara statistik
tidak berpengaruh, tetapi rata-rata RKPnya lebih rendah dari kelompok ayam
yang diberi stres
panas. Menurut Cooper dan
Washburn (1998) temperatur dan
kelembaban yang lebih rendah
ini akan dapat
meningkatkan efisiensi
penggunaan ransum (nilai FCR yang lebih
rendah), karena ayam
tidak perlu lagi mengeluarkan
energi untuk mengatasi cekaman
panas. Pada penelitian ini, pemberian stres panas dapat menyebabkan kehilangan
rata-rata bobot badan
sebesar 15% jika dibandingkan dengan
pertambahan bobot badan ayam pada perlakuan
tanpa cekaman panas (yang tidak diberi
cekaman panas). Tingkat penurunan bobot
badan sebesar 15% tersebut jauh
lebih rendah jika dibandingkan dengan
laporan peneliti lainnya. Menurut
Kuczynski (2002) bahwa pemeliharaan ayam
broiler sampai umur 35 hari pada suhu
di atas 31ºC dapat menyebabkan penurunan
bobot badan mencapai 25% jika
dibadingkan dengan pemeliharaan pada
suhu 21,1-22,2ºC. 0>
Dari uraian
di atas dapat
disimpulkan bahwa:
1.
Cekaman panas atau
cekaman dingin dapat menyebabkan penurunan kandungan hormon tiroid
dan berefek terhadap rendahnya produksi.
2.
Dampak pemberian stres panas
sejak ayam broiler umur 20 hari pada suhu 33 ± 1 0C selama 4 jam per hari dengan lama
waktu 14 hari dapat menurunkan pertambahan
bobot badan tetapi belum
berdampak terhadap nilai rasio
konversi pakan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Fataftah, A.R.A.
and Z.H.M. Abu-Dieyeh. 2007. Effect
of Chronic Heat
Stress on Broiler Performance in Jordan. Intern. J. Poult. Sci.
6(1): 64-70.
CHARLES, D.R. 2002.
Responses to the
thermal environment. In: Environment
Problem, Aguide to solution.
CHARLES, D.A. and A.W.WALKER (Eds.). Nottingham, United Kingdom, pp. 1
- 16.
Cooper, M.A.
and K.W. Washburn.
1998.The Relationships of
Body Temperature to Weight Gain, Feed Consumption,
and Feed Utilizationin Broilers under
Heat Stress.Poult. Sci.
77:237-242
DECUYPERE, E.
and J. BUYSE. 2005.
Endocrine control of postnatal
growth in poultry.
J.Poult. Sci. 42: 1 - 13.
GERAERT, P.A., J.C.F. PADILHA and S.
GUILLAUMIN. 1996. Metabolic and
endocrine changes bychronic
heat exposure in
broiler chickens:biological and endocrinological
variables. Br.J. Nutr.75: 205 - 216.
Kuczynski, T. 2002.
The application of poultry behaviour
responses on heat
stress to improve heating andventilation systems
efficiency. Electr. J. Pol. Agric. Univ. Vol.
5and Issue 1.
KUSNADI, E., R. WIDJAJAKUSUMA, T.
SUTARDI, P.S.HARDJOSWORO dan A.
HABIBIE. 2006.Pemberian Antanan (Centella asiatica)
danVitamin C sebagai
Upaya Mengatasi EfekCekaman
Panas pada Broiler.
Media Peternakan 29(3): 133 - 140.
LU,
Q., J. WEN
and H. ZHANG.
2007. Effect of Chronic heat exposure on fat
deposition and meat quality in two genetic types of chicken. Poult.
Sci. 86: 1059 - 1064.
TABIRI, H.Y., K.SATO, K. TAKAHASHI,
M. TOYOMIZUand Y. AKIBA.
2000. Effects of
acute heatstress on plasma amino
acids concentration of broiler chickens. Jpn Poult Sci. 37:
86 - 94.
No comments:
Post a Comment
Comment Me