LAPORAN PRAKTIKUM ILMU KESEHATAN TERNAK PADA SAPI PERAH
DAPAT DI DOWNLOAD DISINI
BAB I
PENDAHULUAN
Bagi negara yang beriklim tropis seperti Indonesia dengan keadaan cuaca yang panas sangat kering atau lembab akan mempengaruhi status kesehatan ternak. Bila suhu dan kelembaban udara sangat tinggi, maka penyebab penyakit dapat berkembang dan meningkat sampai keadaan kesehatan hewan tidak dapat di pertahankan lagi keseimbangannya, maka dari itu memelihara ternak agar tetap sehat sangatlah penting karena dapat mengurangi biaya pengeluaran bila ternak sakit. Salah satu cara untuk menjaga kesehatan ternak adalah dengan mengontrol dan mengatur tata laksana kesehatan ternak, antara lain dengan pemeriksan kesehatan ternak melalui pengamatan tingkah laku ternak, pemeriksaan fisik tubuh ternak dan pemeriksaan kondisi fisiologis ternak. Ternak sehat adalah ternak yang tidak terjadi penyimpangan dari kondisi normalnya. Ciri-ciri hewan sehat antara lain gerakan aktif, sikapnya sigap, selalu sadar dan tanggap terhadap perubahan situasi sekitar yang mencurigakan. Penyakit pada ternak yang tersebar sekarang ini banyak disebabkan oleh parasit, baik endoparasit maupun ektoparasit. Endoparasit merupakan parasit yang berada dalam tubuh induk semang. Ektoparasit merupakan parasit yang berada di luar atau permukaan tubuh induk semang.
Tujuan dari Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak yaitu untuk mengetahui kondisi kesehatan dari pemeriksaan fisik, tingkah laku, dan kondisi fisiologis ternak serta untuk mengetahui jenis-jenis parasit penyebab penyakit. Manfaat praktikum yaitu agar praktikan dapat mengerti dan mendiagnosa kondisi kesehatan ternak sehingga dapat mengambil tindakan yang paling tepat terhadap ternak yang dinyatakan sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teknik Anamnesa
Anamnesa yaitu suatu cara untuk mengetahui kondisi kesehatan ternak dengan cara menanyakan pada pemilik ternak yang meliputi permasalahan pada ternak dan hal ihwal yang berhubungan dengan kesehatan ternak (Siregar, 1997). Pemeriksaan kesehatan ternak sangatlah penting karena untuk suatu prediksi maupun identifikasi ternak tersebut sakit atau sehat (Akoso, 1996).
2.2. Manajemen Pemeliharaan
Ternak yang sehat akan selalu sadar dan cepat tanggap akan perubahan situasi sekitar yang mencurigakan (Akoso, 1996). Beberapa faktor yang menyebabkan hewan sakit antara lain faktor mekanis, termis, kekurangan nutrisi, pengaruh zat kimia, dan faktor lingkungan (Siregar, 1997).
Pemeriksaan umum ternak dimulai dari suatu jarak yang tidak mengganggu ketenangan ternak. Usaha kebersihan lingkungan kandang, seperti lantai yang bersih dan kering, drainase sekitar bangunan kandang yang baik, pengapuran, pengaturan ventilasi kandang yang sempurna dan sebagainya akan mampu membentengi dari serangan berbagai jenis infeksi penyakit. Kesehatan sapi bisa dicapai dengan tindakan hygiene, sanitasi lingkungan, vaksinasi, pemberian pakan dan teknis yang tepat (Sugeng, 2000). Keadaan umum dan kelakuan hewan perlu diperhatikan, hewan dalam keadaan berdiri atau tidur, tingkat kelesuan, kesadaran dan kegelisahan sehingga dapat diketahui ternak tersebut sakit atau tidak, pemeriksaan hewan yang sakit diantaranya memeriksa pakan, minum serta penelitian meliputi adanya tinja dan kemih (Siregar, 1997).
2.2.1. Lingkungan kandang
Lingkungan peternakan merupakan tempat yang secara langsung berhubungan dengan ternak yang dipelihara di peternakan tersebut. Sanitasi lingkungan peternakan dilakukan dengan mengupayakan tidak adanya serangga vektor-vektor penyakit yang dapat menyerang ternak. Selain itu penanganan limbah yang tepat dapat mengurangi adanya pencemaran lingkungan dan memudahkan tatalaksana sanitasi. Sanitasi perkandangan meliputi sanitasi kandang sebelum digunakan dan selama pemeliharaan (Santosa, 1995). Lebih lanjut dijelaskan bahwa sanitasi awal sebelum kandang digunakan merupakan sanitasi kandang secara total dengan langkah-langkah yang diawali dengan membersihkan debu yang ada di dalam kandang, mengeluarkan peralatan yang ada dalam kandang, menyemprot kandang dengan insektisida, menyemprot kandang dengan deterjen, menyemprot kandang dengan insektisida untuk kedua kalinya, membetulkan bagian-bagian kandang yang rusak, menyemprot kandang dengan desinfektan, membersihkan peralatan kandang di luar kandang dengan menggunakan air dan desinfektan untuk kemudian dimasukan kembali ke dalam kandang (Siregar, 1997).
2.2.2. Bangunan kandang
Kandang bagi ternak merupakan sarana yang sangat diperlukan, kandang bukan hanya sebagai tempat tinggal saja tetapi kandang harus dapat melindungi dari segala aspek dari luar yang menimbulkan gangguan. Adapun syarat kandang yang baik antara lain memberi kenyamanan pada sapi, memenuhi persyaratan bagi kesehatan sapi, memiliki ventilasi udara yang baik dan mudah dibersihkan. Bentuk kandang yang sering dipergunakan adalah tipe tail to tail dimana sapi saling membelakangi dan tipe face to face dimana sapi saling berhadapan (Santosa, 1995). Secara umum konstruksi kandang harus kuat, mudah dibersihkan dan sirkulasi udara di dalam kandang baik. Sehubungan itu perlu diperhatikan yaitu arah kandang, ventilasi, atap, dinding, dan lantai kandang (Bambang, 1992).
Atap merupakan pembatas atas dari kandang dan berfungsi untuk melindungi ternak dari pengaruh luar. Sudut kemiringan atap tergantung pada lingkungan dan bahan atap yang digunakan. Kemiringan genting antara 30-45°, untuk asbes kemiringannya antara 15-20°, dan dari dedaunan kemiringannya antara 25-30° (Bambang, 1992). Dinding berfungsi sebagai pembatas angin, penahan keluar masuknya udara dari kandang. Bahan yang digunakan untuk membuat dinding adalah anyaman bambu, papan dan batu bata (Siregar, 1997).
Lantai kandang. Pembuatan lantai kandang harus memenuhi syarat: rata, tidak licin, tidak mudah lembab, tahan injakan, dan awet (Bambang, 1992). Ventilasi sangat berpengaruh pada kesehatan hewan, ventilasi berguna untuk mengeluarkan udara kotor dari dalam kandang dan menggantikannya dengan udara bersih dari luar kandang (Siregar, 1997)
Tempat pakan dan minum dibuat dari beton dengan lubang pembuangan air pada bagian bawah. Bentuk tempat pakan dan minum sebaiknya dibuat cekung. Tempat pakan dan minum dapat juga dibuat dari: papan kayu untuk tempat pakan dan ember untuk tempat minum (Santosa, 1995). Ukuran kandang sangat menentukan produktivitas sapi. Ternak akan merasa nyaman jika ukuran kandangnya cocok untuk melakukan aktivitas. Panjang dan lebar kandang menyesuaikan dengan jumlah sapi yang dipelihara (Murtidjo, 1993).
2.2.3. Kondisi ternak
Taraf kesehatan ternak terlihat dari permukaan kulit yang halus, bersih dan mengkilat. Pertumbuhan bulu merata di permukaaan tubuhnya dan di daerah tertentu mungkin bulu tumbuh panajng dan kasar terutama di daerah beriklim sejuk, namun akan terlihat bahwa dalam keadaan normal penampilan bulu tidak kusam (Santosa, 1995). Sudut mata terlihat bersih tanpa adanya kotoran atau getah radang dan tidak terlihat perubahan warna di selaput lendir dan kornea matanya. Ekornya selalu aktif mengibas untuk mengusir lalat. Pernafasan denyut jantung dan ruminansi normal dan dapat dirasakan (Akoso, 1996).
Pemeriksaan secara fisik biasanya dilakukan pada saat ternak ini beraktifitas tidak dalam posisi tidur, sangat terlihat jelas sekali tanda-tanda ternak yang sakit dengan ternak yang sehat (Santosa, 1995). Dilakukan dengan cara palpasi, inspeksi visual dan penciuman disamping pendengaran dengan cara auskultasi dan perkusi. Perkusi yang dilakukan bersama dengan auskultasi untuk menentukan diagnosa secara pasti terhadap lokasi jaringan yang berisi gas dalam rongga perut. Suhu tubuh biasanya diukur melalui rektum. Suhu normal untuk sapi 38,5°C (101,5 F) suhu kritis 39,5°C (103,0 F). Pulsus ditentukan dari arteri ekor atau muka sapi, kadang-kadang frekuensi pulsus lebih mudah ditentukan dengan jalan auskultasi jantung. Frekuensi pulsus permenit bagi ternak sapi 60-80 (Siregar, 1997).Frekuensi pernafasan bervariasi, tergantung dari jenis sapi dan umurnya. Suara nafas halus, teratur dan tidak tersengal-sengal (Akoso, 1996).
Suhu tubuh sapi dipengaruhi oleh jenis, bangsa, umur, jenis kelamin, kondisi dan aktivitasnya. Kisaran tubuh normal pada sapi adalah 38,5-39,6 0C dengan suhu kritis 40 0C (Subronto, 1985). Suhu lingkungan yang berubah-ubah menyebabkan ternak selalu berusaha untuk menjaga suhu tubuhnya agar tetap, karena sapi adalah hewan homeothermis (Sugeng, 2000).
Rata-rata frekuensi pernafasan sapi adalah 10-30 kali per menit. Pernafasan akan lebih cepat pada sapi yang ketakutan, lelah akibat bekerja berat dan kondisi udara terlalu panas (Sugeng, 2000). Rata-rata frekuensi pernafasan sapi normal adalah 19 kali permenit. Ternak yang banyak melakukan aktivitas maka frekuensi pernafasannya lebih cepat, demikian pula jika suhu lingkungan meningkat maka frekuensi pernafasannya juga semakin cepat (Frandson, 1992).
Pengukuran suhu rektal digunakan untuk mengetahui suhu tubuh. Pengukuran suhu tubuh ini juga dapat dilakukan melalui mukosa vaginalis yang disebut dengan suhu vaginalis (Frandson, 1992). Kisaran suhu tubuh normal anak sapi 39,5-40°C, sedangkan untuk sapi dewasa 38-39,5°C (Sugeng, 2000).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan denyut nadi adalah umur, spesies, kelamin, kondisi ternak, aktivitas dan suhu lingkungan (Akoso, 1996). Hewan yang sakit atau stress akan meningkat denyut jantungnya untuk waktu tertentu. Semakin tinggi aktivitas yang dilakukan ternak, semakin cepat denyut nadinya. Hewan yang mempunyai ukuran tubuh lebih kecil, denyut nadinya lebih besar daripada hewan yang mempunyai ukuran tubuh besar (Frandson, 1992).
Suara jantung berirama teratur dan nada yang tetap. Kelainan terhadap keteraturan ritme denyut jantung merupakan indikasi adanya gangguan kondisi sapi (Akoso, 1996). Proses ruminasi pada sapi sehat berupa peremasan pakan yang ditelan secara kuat dan mantap kemudian dicampur dengan cairan. Peristiwa ini menimbulkan gerakan rumen yang dapat dirasakan oleh tangan pemeriksa dengan mengepalkan tinju dan mendesaknya di bagian kiri atas lambung tepat di lekuk pinggang di belakang rusuk terakhir (Sugeng, 2000).
2.2.4. Pakan
Keberhasilan usaha ternak sapi akan tercapai apabila faktor-faktor penunjangnya memperoleh perhatian yang penuh. Salah satu faktor yang utama adalah makanan, di samping faktor genetis dan manajemen pemberian pakan yang cukup dan memenuhi syarat tidak berarti akan bisa mengubah sifat-sifat genetik sapi tetapi akan mampu memunculkan sifat-sifat pembawaan misalnya: pertumbuhannya menjadi lebih sempurna dan lebih cepat dan persentasi karkasnya akan menjadi lebih baik (Frandson, 1992). Jenis pakan penguat atau konsentrat adalah pakan yang mengandung nutrisi tinggi dengan kadar serat kasar yang rendah, peranan pakan konsentrat adalah untuk meningkatkan nilai nutrisi yang rendah agar memenuhi kebutuhan normal hewan untuk tumbuh dan berkembang cepat (Akoso, 1996).
2.2.5. Tata laksana
Kesehatan ternak adalah suatu status kondisi tubuh hewan dengan seluruh sel yang menyusun dan cairan tubuh yang dikandungnya secara fisiologis berfungsi normal. Hewan sakit adalah suatu kondisi yang ditimbulkan oleh suatu individu hidup atau oleh penyebab lain baik yang diketahui maupun tidak yang dapat merugikan kesehatan hewan tersebut. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan hewan antara lain faktor mekanis, termis, nutrisi, pengaruh zat kimia, keturunan, dan sebagainya (Akoso, 1996). Permukaan tubuh ternak harus terjaga karena jasad renik atau kutu dapat masuk ke dalam tubuh ternak melalui lubang-lubang tubuh seperti mulut, hidung, alat kelamin dan kulit yang luka (Sudarmono, 2008).
Ciri-ciri sapi yang sehat adalah sigap, aktif, sadar keadaan sekitar dan bila berjalan dilakukan dengan mudah serta dengan langkah yang teratur, matanya bersianar, ekornya selalu bergerak melawan lalat, kultnya halus mengkilat, keadaan berdiri seimbang pada ke empat kakinya, mempunyai level punggung yang nyata, pernafasan teratur dengan rata-rata 10-30 setiap menit. Jantung secara normal berdenyut dari 40-60 kali setiap menit selain itu kontraksi pada rumen dapat dirasakan pada bagian lambung kiri pada ternak (Akoso, 1996). Sapi sehat bernafas dengan tenang dan teratur, tetapi sapi yang ketakutan, lelah akibat kerja berat atau kondisi udara terlalu panas frekuansi pernafasan pada sapi akan menjadi lebih cepat (Anderson, 1983). Penilaian fisiologis ternak meliputi penilaian terhadap suhu rektal, frekuensi denyut jantung dan frekuensi nafas. Kisaran suhu tubuh normal sapi rata-rata adalah 38,5°C-39,6°C (Akoso, 1996). Kandang berfungsi untuk melindungi ternak, tempat istirahat ternak, mengontrol ternak, dan memudahkan pelaksanaan pemeliharaan (Abidin, 2008).
2.3. Parasit
Parasit adalah hewan yang hidupnya menempel pada hewan lain sehingga dapat merugikan hewan yang ditempeli (hospes). Kelompok parasit adalah semua jasad yang hidup di dalam atau di luar individu lain atau yang disebut sebagai induk semang (Sugeng, 2000). Parasit yang hidup di luar atau di permukaan tubuh induk semang digolongkan ke dalam ektoparasit, sedangkan parasit yang hidup di dalam tubuh individu disebut endoparasit (Akoso, 1996).
2.3.1. Endoparasit
Endoparasit menurut Griffiths (1991) dapat diartikan sebagai parasit yang hidup di dalam tubuh induk semang. Endoparasit meliputi cacing (Helminth), cacing adalah hewan yang bersel banyak yang memiliki badan panjang, kepala dan ekornya kadang ada yang terlihat jelas dan ada yang tidak (Adam, 1992).
2.3.1.1. Paramphistomum sp . Cacing Paramphistomum sp adalah cacing daun, dengan ujung anterior cacing daun ini memiliki sebuah mulut, tetapi tanpa basil hisap. Secara umum bentuk tubuh cacing ini ditutupi oleh papilla, tidak sama dengan bentuk daun yang khas dari cacing dau lainnya, kebanyakan tubuhnya bulat dan lebih mirip buah pir, dengan lubang di puncaknya (Subronto, 1985). Cacing ini berotot dan bertubuh tebal, menyerupai bentuk kerucut, dengan satu penghisap mengelilingi mulut dan yang lainnya pada usus posterior tubuh. Sebagian besar cacing ini terdapat pada ruminansia dan mempunyai panjang sekitar 10-12 mm dan lebar 2-4 mm. Kapsula bukal dangkal berbentuk cincin, dan terdapat gubernakulum. Vulva cacing betina terletak di sebelah anterior anus. Penyakit Paramphistomum merupakan cacing benjol pada ternak biasanya terdapat dua mahkota daun (Levine, 1994).
2.3.1.2. Ascaridia galli. Anggota genus ini merupakan Ascaridia pada unggas. Umumnya mereka mempunyai sayap lateral. Oeshophagus berbentuk alat pemukul tetapi tidak mempunyai bulbus posterior. Cacing jantan mempunyai penghisap preanal dengan tepian kutikuler dan vulva berada di dekat pertengahan tubuh (Levine, 1994). Ciri-ciri cacing Ascaridia galli berbentuk panjang dan bulat. Panjang rata-rata cacing jantan kira-kira 50 mm, dan yang betina dapat lebih dari 100 mm (Griffith, 1991).
Cacing ini memiliki suatu batil hisap preanal, telurnya tidak menetas ditanah, tetapi apabila telah infektif dan termakan oleh hospes yang serasi, telur-telur tersebut akan menetas di dalam usus (Kadarsan et al., 1983). Ascaridia galli terdapat pada usus kecil ayam dan burung dengan cacing jantan panjangnya adalah 30-80 mm dan berdiameter 0,5-1,2 mm, memiliki penghisap preanal berdiameter sekitar 220 mikron dan mempunyai papila-papila pada tepi tubuh bagian posterior (Levine, 1994).
2.3.1.3. Raillietina tetragona. Cacing ini mungkin merupakan genus cacing pita pada ayam yang paling umum di Amerika Utara dan mungkin di seluruh dunia. Tubuhnya mempunyai banyak proglotida. Terdapat rostelum dengan kait berbentuk palu yang tersusun dalam lingkaran ganda. Alat penghisap kadang-kadang dipersenjatai dengan kait yang kecil dan berdegenerasi yang tersusun dalam beberapa lingkaran (Levine, 1994). Raillietina tetragona terjadi pada usus halus unggas, dan burung dara, merupakan cacing yang lebar dan panjangnya 25cm. Telur berada di kantung, berdiameter 25-50 mikron (Hall, 1977).
2.3.2. Ektoparasit
Ektoparasit adalah parasit yang dapat hidup di luar tubuh induk semang. Ektoparasit meliputi Musca domestica, Tabanus sp, Hippobosca sp dan Stomoxys calcitrans. Salah satu contoh ektoparasit adalah Musca domestica merupakan lalat rumah dan merupakan induk semang perantara telur cacing ascaris. Daur hidup lalat ini diawali dari lalat dewasa mencari pakan hewan melalui alat pengambil makan dari mulutnya yang menjulur dari kepala kebawah. Dalam keadaan yang cocok lalat tersebut melengkapi daur hidupnya selama 7 hari (Griffith, 1991). Lalat rumah tidak menggigit dan berkembang biak didalam kotoran ayam, sisa pakan, sampah dan bahan busuk yang lain. Dalam keadaan yang cocok lalat tersebut melengkapi daur hidupnya selama 7 hari. Setiap betina dapat bertelur sebanyak 120-150 butir yang terkumpul dalam 3 atu 4 kelompok telur dengan jarak antara 3-4 hari. Kebersihan merupakan kunci pokok dalam pengendalian lalat rumah (Akoso,1996).
2.3.2.1. Hipobosca equina. Lalat ini banyak dijumpai pada kuda, sehingga sering disebut lalat kuda. Lalat ini sering melekat di tempat-tempat yang terlindung Hippobosca termasuk ke dalam kelas Insecta, ordo Diptera, sub ordo Cyclurrhopha, famili Hippoboscidae. Hippobosca adalah lalat sumba yang berukuran sekitar 10 mm, tubuhnya melebar dan pipih dorsoventral, berwarna coklat merah dengan bercak kuning pucat pada bagian dorsal toraksnya. Seluruh tubuh ditutupi bulu pendek, memiliki sepasang sayap yang kuat dengan vena anterior yang jelas. Antenanya tidak berkembang (Hadi dan Saviana, 2000). Famili Hippoboscidae ini merupakan lalat-lalat yang mempunyai integumen yang seperti kulit mentah dan ruas-ruas perutnya tidak jelas. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lalat ini menghisap. (Levine, 1994)
2.3.2.2. Gasterophilus intestinalis. Gasterophilus intestinalis termasuk ke dalam kelas Insecta, ordo Diptera, sub ordo Cyclurrhopha, famili Gasterophilidae. Lalat dewasa G. Intestinalis tidak ditemukan di Indonesia, tetapi banyak ditemukan di negara empat musim. Lalat dewasanya merupakan lalat yang banyak mempunyai bulu dan bagian mulutnya tidak berkembang serta tidak berfungsi. Warnanya coklat menyerupai lebah. Panjang tubuhnya sekitar 81 mm, dan sayapnya mempunyai pita melintang yang gelap tidak teratur (Hadi dan Saviana, 2000). Gasterophilus intestinalis berwarna merah dan biasanya terdapat di ujung bagian kardiaka lambung (Levine, 1994).
BAB III
MATERI DAN METODE
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak dibagi dalam dua kegiatan praktikum yaitu Anamnesa dilaksanakan pada tanggal 9 November 2010 hari Selasa pukul 15.00 WIB di peternakan sapi perah di Ungaran dan Identifikasi Parasit dilaksanakan pada tanggal 25 November 2010 hari Kamis pada pukul 19.00 WIB di Laboratorium Ilmu Kesehatan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang.
3.1. Materi
Materi yang diamati adalah feses sapi perah serta beberapa contoh parasit. Alat-alat yang digunakan tabung sentifuge, tabung reaksi, kaca obyek, stetoskop, thermometer, mikroskop dan alat tulis.
3.2. Metode
3.2.1. Anamnesa
Menanyakan kondisi ternak kepada seseorang yang merawat ternak tersebut. Pertanyaan berisi semua aspek yang menyangkut tentang kesehatan ternak tersebut.
3.2.2. Pemeriksaan kesehatan ternak
Pemeriksaan kesehatan ternak dilakukan dengan cara pengamatan tingkah laku ternak. Pengamatan tingkah laku ternak yaitu pengamatan ternak secara kasat mata/ mata telanjang yang meliputi pengamatan aktifitas gerak ternak, aktifitas makan dan minum, mengamati pergerakan dari anggota tubuh ternak, dan posisi berdirinya. Selain itu juga mengamati kondisi permukaan tubuh, lubang-lubang tubuh seperti mulut, hidung, mata, telinga, anus, vulva, putting susu, serta gerakan nafas.
3.2.3. Pemeriksaan parasit
Metode yang digunakan adalah mengamati bentuk fisik dari parasit baik endoparasit maupun ektoparasit kemudian menggambarnya.
3.2.2.1. Metode natif. Mengambil sedikit feses sebanyak 10 gr dan menaruhnya pada kaca obyek, teteskan sedikit air lalu menutupnya dengan kaca penutup. Kemudian mengamatinya di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10.
3.2.2.2. Metode centrifuse. Mengambil 2 gram feses lalu taruh dalam mortir tambahkan sedikit air lalu diaduk sampai larut. Kemudian menuang feses tersebut ke dalam tabung reaksi sampai ¾ tabung lalu putar dalam alat centrifuse selama 5 menit 5000 rpm. Membuang cairan sehingga tinggal endapan saja. Menambahkan NaCl jenuh sampai ¾ tabung. Memutar tabung reaksi dalam centrifuse selama 5 menit kecepatan 5000 rpm. Lalu menuang NaCl jenuh kedalam tabung reaksi sampai permukaan cairan cembung tunggu selama 3 menit, selanjutnya dengan hati-hati menutupnya dengan kaca obyek. Kemudian dengan cepat membalikkan kaca obyek, tutup dengan kaca penutup dan mengamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10.
BAB IV
HASIL PEMBAHASAN
4.1. Identitas Peternak
Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data sebagai berikut:
Ilustrasi 1. Foto bersama peternak
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2010.
Berdasarkan hasil wawancara teknik anamnesa diperoleh data pemilik peternakan bernama Bapak Ariyanto, yang tinggal di Jalan MT. Haryono No. 80 Ungaran. Pendidikan yang ditempuh Pak Aryanto hingga Perguruan Tinggi D2 dengan pendidikan tambahan keahlian beternak semacam kursus. Awal mula beternak sekitar tahun 1978 sampai sekarang yang berawal hanya seekor sapi. Pak Aryanto sekarang memiliki 4 ekor sapi perah dan satu anakan. Riwayat penyakit pada ternak sapi perah pada saat pancaroba yaitu gangguan pencernaan. Tanda-tanda sakit yang terlihat yaitu seperti ternak mengalami kembung, diare yang menyebabkan ternak tidak mau makan dan susu tidak keluar. Sakit yang sering melanda sapi perah yaitu diare, radang ambing dan kembung, sedangkan untuk penanganannya dapat diberi obat penstrep, antibiotik dan aquabidest. Pencegahan yang dapat dilakukan oleh seorang peternak adalah menjaga kebersihan kandang, puting dan ambing pada ternak sapi perah.
Teknik anamnesa digunakan untuk mengetahui ternak tersebut sakit atau sehat, teknik anamnesa dilakukan dengan menanyakan langsung kepada perawat ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (1997) yang menyatakan bahwa anamnesa yaitu suatu cara untuk mengetahui kondisi kesehatan ternak dengan cara menanyakan pada pemilik ternak yang meliputi permasalahan serta hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan ternak. Berdasarkan hasil wawancara anamnesa dengan Bapak Arianto dapat disimpulkan pendidikan dan keterampilan dalam menangani ternak yang mengalami kembung serta diare saat musim pancaroba sudah sesuai dengan aturan dan ketentuan.
4.2. Manajemen Pemeliharaan
4.2.1. Lingkungan Kandang
Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data sebagai berikut:
Ilustrasi 2. Keadaan Lingkungan kandang dan sumber air
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2010.
Berdasarkan pengamatan di lokasi peternakan Bapak Arianto dapat disimpulkan bahwa lokasi kandang sangat sesuai dikarenakan terletak di daerah yang dingin, jarak kandang dengan pemukiman penduduk jauh, jarak antara ternak satu dengan lainnya cukup luas, sumber air yang berasal dari sumur bebas dari limbah pabrik dan jumlahnya banyak, kebersihan lingkungan menjamin karena sanitasi dilakukan rutin. Lingkungan kandang yang nyaman, bersih bagi ternak mempengaruhi kesehatan ternak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sugeng (2000) yang menyatakan bahwa kesehatan sapi bisa dicapai dengan tindakan higienis, sanitasi lingkungan, vaksinasi, pemberian pakan dan teknis yang tepat.
4.2.2. Bangunan kandang
Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data sebagai berikut:
Ilustrasi 3. Keadaan Bangunan Kandang
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2010.
Bangunan kandang yang perlu diperhatikan yaitu atap, lantai, tempat pakan minum. Sehubungan dengan itu yang perlu diperhatikan adalah arah kandang, ventilasi, atap, dinding, dan lantai kandang. Berdasarkan pengamatan pada saat praktikum, atap kandang sudah sesuai yaitu menggunakan genting, lantai kandang sudah dibuat miring, hal tersebut memudahkan membersihkan kotoran ternak. Kandang peternakan Bapak Arianto disesuaikan dengan lingkungan yang bersuhu relatif rendah sehingga ventilasi kandang tidak dibuat lebar yang menyebabkan kurangnya sinar matahari yang masuk. Hal ini sesuai dengan pendapat Bambang (1992) yang menyatakan bahwa secara umum konstruksi kandang harus kuat, mudah dibersihkan dan sirkulasi udara di dalam kandang baik. Kapasitas kandang bagi ternak cukup baik, ternak masih dapat bergerak bebas. Ditambahkan pula oleh pendapat Murtidjo (1993) bahwa ukuran kandang sangat menentukan produktivitas sapi. Ternak akan merasa nyaman jika ukuran kandangnya cocok untuk melakukan aktivitas. Panjang dan lebar kandang menyesuaikan dengan jumlah sapi yang dipelihara.
4.2.3. Kondisi ternak
Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data sebagai berikut:
Ilustrasi 4. Kondisi tubuh ternak
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2010.
Berdasarkan pengamatan pada saat praktikum dapat dilihat kondisi tubuh ternak. Bagian tubuh ternak yang diamati kebersihan permukaan tubuh ternak/kulit pada induk kusam, sedangkan untuk anakan bersih namun sedikit kotor pada bagian pantat. Aktivitas ternak sendiri pada induk lincah dan pada anakan lincah. Bagian tubuh ternak yang nampak sakit pada induk terdapat luka dekat anus dan pada anakan tidak ada. Zootenik pemeliharaan pada ternak pemberian pakan sangat sesuai yaitu hijauan segar. Kondisi kesehatan ternak berdasarkan fisiknya dapat dilihat pada permukaan kulit induk terlihat kusam, sedangkan pada anakan permukaan kulitnya bersih dan mengkilat. Hal ini sesuai dengan pendapat Santosa (1995) taraf kesehatan ternak terlihat dari permukaan kulit yang halus, bersih dan mengkilat.
4.2.4. Pakan
Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data sebagai berikut:
Ilustrasi 5. Bahan Pakan yang digunakan
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2010.
Pakan yang diberikan pada sapi perah di peternakan Bapak Arianto terdiri dari hijauan segar serta konsentrat. Pakan sangat mempengaruhi produktivitas sapi. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1992) yaitu salah satu faktor yang utama adalah makanan, di samping faktor genetis dan manajemen pemberian pakan yang cukup. Pemberian pakan berupa konsentrat sangat dibutuhkan oleh ternak karena dapat memberikan nutrisi tambahan untuk ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (1996) yaitu jenis pakan penguat atau konsentrat adalah pakan yang mengandung nutrisi tinggi dengan kadar serat kasar yang rendah, peranan pakan konsentrat adalah untuk meningkatkan nilai nutrisi yang rendah agar memenuhi kebutuhan normal hewan untuk tumbuh dan berkembang cepat.
4.2.5. Tata laksana ternak
Ternak dipelihara dengan cara dikandangkan agar mempermudah proses pemeliharaan ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Abidin (2008) yang menyatakan bahwa kandang berfungsi untuk melindungi ternak, tempat istirahat ternak, mengontrol ternak, dan memudahkan pelaksanaan pemeliharaan.
4.3. Riwayat Penyakit
Ternak yang dipelihara oleh bapak Aryanto memiliki riwayat penyakit pada pencernaan, seperti gangguan pencernaan. Tanda sakit yang terlihat pada sapi biasanya tidak mau makan, tidak lincah dan apabila diperah maka tidak akan keluar susunya. Pencegahan yang dilakukan agar sapi terjaga kesehatannya maka peternak biasanya melakukan sanitasi kandang secara teratur saat pemerahan susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugeng (2000) yang menyatakan bahwa kesehatan sapi bisa dicapai dengan tindakan hygiene, sanitasi lingkungan, vaksinasi, pemberian pakan dan teknis yang tepat.
4.4. Hasil Identifikasi Telur Cacing
Berdasarkan hasil pengamatan praktikum dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Pengamatan telur cacing
Indukan :
|
Anakan :
|
Ilustrasi 6. Eurytrema pancrealicum
Sumber : Data primer praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2010
Telur cacing telah ditemukan pada indukan dengan pengamatan metode natif. Telur cacing yang ditemukan yaitu Eurytrema pancrealicum yang merupakan endoparasit karena hidup didalam tubuh ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Griffiths (1991) dapat diartikan sebagai parasit yang hidup di dalam tubuh induk semang, endoparasit meliputi cacing (Helminnth).
4.5. Hasil Pemeriksaan Parasit
4.5.1. Endoparasit
Endoparasit tinggal di dalam tubuh induk semang, induk semang sendiri ada dua macam induk semang definitif merupakan induk semang yang dihuni parasit yang sudah dewasa seksual sedangkan induk semang yang kedua adalah induk semang antara. Dimana suatu induk semang yang dihuni parasit stadium aseksual atau stadium larva.
4.5.1.1. Paramphistomum. Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data sebagai berikut:
Ilustrasi 7. Paramphistomum
Sumber : FAO, 2008
Hasil pengamatan praktikum dapat diketahui bahwa Paramphistomum berbentuk seperti ascridia golli lebih pendek dan tubuhnya terlihat lebih kaku dan keras,cacing ini hidup di saluran pencernaan. Hal ini sesuai pendapat Subronto (1985) yang menyatakan bahwa cacing parampitomum yang belum dewasa yang bertempat di duodenum dan abomasum menyebabkan radang usus hebat hingga segera diikuti dengan diare berat. Menurut pendapat Kadarsan et al. (1983) yang menyatakan bahwa perkembangan cacing terjadi di dalam tubuh siput sebagai induk semangnya.
4.5.1.2. Ascaridia galli. Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data sebagai berikut:
Ilustrasi 8. Ascaridia galli
Sumber : Helminths, 2009
Hasil pengamatan praktikum diketahui Ascaridia galli berupa cacing yang sangat kecil, dan berwarna putih agak kekunungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Levine (1994), bahwa Ascaridia galli merupakan anggota genus Ascaridia pada unggas. Umumnya mereka mempunyai sayap lateral. Oeshophagus berbentuk alat pemukul tetapi tidak mempunyai bulbus posterior. Cacing jantan mempunyai penghisap preanal dengan tepian kutikuler. Vulva berada di dekat pertengahan tubuh. Ascaridia galli terdapat pada usus kecil ayam dan burung. Cacing jantan panjangnya adalah 30-80 mm dan berdiameter 0,5-1,2 mm. Penghisap preanal berdiameter sekitar 220 mikron dan mempunyai papila-papila pada tepi tubuh bagian posterior.
4.5.1.3. Raillietina tetragona. Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data sebagai berikut:
Ilustrasi 9. Raillietina tetragona
Sumber : Sara, 2009
Hasil pengamatan diketahui bahwa Raillietina tetragona memiliki tubuh agak panjang, pada salah satu sisi dari cacing ini akan berbentuk seperti pengait, dan berwarna putih agak kekuningaan. Sesuai dengan pendapat Levine (1994), yang menyatakan bahwa pada Raillietina banyak terdapat proglotida. Terdapat rostelum dengan kait berbentuk palu yang tersusun dalam lingkaran ganda. Alat penghisap kadang-kadang dipersenjatai dengan kait yang kecil dan berdegenerasi yang tersusun dalam beberapa lingkaran. Terdapat kantung parenkimatosa dalam proglotida bunting, masing-masing dengan beberapa telur.
4.5.2. Ektoparasit
Pada saat praktium mengamati cacing ektoparasit adalah Hippobosca, Musca domestica, Stomoxys calcitrans, Tabanus sp, Larva Gastrophilia,Tabasius Sp, Dipnera Hippobacide, Parampis tamum. Ektoparasit pada umumnya termasuk dalam golongan arthropoda, kelompok-kelompok serangga dan akarina pada khususnya. Jenis dari ektoparasit adalah arthropoda pada umumnya, kelompok-kelompok serangga dan akarina pada khususnya. Arthropoda adalah jenis parasit yang memiliki mulut ventral pada segmen pertama atau kepala, sebuah sistem pencernaan yang dibagi menjadi beberapa daerah yang sedikit berbeda untuk tiap kelompok dan sebuah anus yang terletak di ujung.
4.5.2.1. Hippobosca. Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data sebagai berikut:
Ilustrasi 10. Hippobosca equina
Sumber : Fondus, 2005
Hasil dari pengamatan diketahui lalat ini berbentuk lebih pipih bila dibandingkan dengan lalat lainnya, agak berbulu, memiliki sayap agak lebar dan memiliki antena yang tidak begitu jelas. Sesuai pendapat Hadi dan Saviana (2000) yang menyatakan bahwa lalat hippobosca berukuran sekitar 10 mm, tubuhnya melebar dan pipih dorsoventral, berwarna coklat merah dengan bercak kuning pucat pada bagian dorsal toraksnya. Seluruh tubuh ditutupi bulu pendek, memiliki sepasang sayap yang kuat dengan vena anterior yang jelas. Antenanya tidak berkembang.
4.5.2.2. Larva gastrophilus intestinalis. Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data sebagai berikut:
Ilustrasi 11. Larva Gastrophilus intestinalis.
Sumber : Foreyt, 2005
Hasil pengamatan dari praktikum diketahui bahwa larva Gastrophilus intestinalis berukuran cukup besar, berwarna putih agak kekuningan dan berbuku-buku agak berbulu. Hal ini sesuai pendapat Hadi dan Saviana (2000) yang menyatakan bahwa Lalat Gasterophilus intestinalis dewasanya merupakan lalat yang banyak mempunyai bulu dan bagian mulutnya tidak berkembang serta tidak berfungsi. Warnanya coklat dan ukuran tubuhnya menyerupai lebah. Panjang tubuhnya sekitar 81 mm, dan sayapnya mempunyai pita melintang yang gelap tidak teratur.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Hasil praktikum menunjukkan bahwa ektoparasit ternak meliputi : endoparasit antara lain Raillietina sp., Ascaris gali sedangkan extoparasit antara lain Hippobosca, Larva Gastrophilia, Limnea javanica.
Hasil pengamatan feses dengan pemeriksaan mikroskopis telur cacing pada feses sapi perah dengan metode native telah ditemukan telur cacing dan cacing pada indukan dan metode centrifuse pada feses sapi perah tidak ditemukan keberadaan telur cacing.
5.2. Saran
Saran praktikum Ilmu Kesehatan Ternak yaitu lebih baik praktikum pada saat awal semester agar tidak terburu-buru saat melakukan praktikum di peternakan rakyat. Pemeriksaan dalam laboratorium peralatan kurang lengkap dengan fasilitas yang masih minim, perlu dilengkapi supaya menunjang dalam kegiatan praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2008. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media, Jakarta.
Anderson, B. E. 1983. Temperature Regulation and Enviromental Physiology, In : Dukkes Physiologi of Domestic Animal. 10th ed. Melum J. (ed) Carnal University Press. P. 719
Akoso, T. B. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.
Adam. 1992. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Bambang I. C. 1992. The Physiologis of Domestic Animal. A Division of Cornell University Press, Ithaca New York.
FAO, 2008. Ruminant eggs: Paramphistomum. (http://www.rvc.ac.uk/ review/parasitology/RuminantEggs/Paramphistomum.htm). Tanggal akses 16 Desember 2010.
Foreyt, 2005. Insects of Veterinary Importance. (http://cal.vet.upenn.edu/ projects/paraav/labs/lab9.htm). Tanggal akses 16 Desember 2010.
Fondus, 2005. Hippobosca Equina. (http://www.transaq.fr/home/actus.php). Tanggal akses 16 Desember 2010.
Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh: Koen Praseno).
Griffiths. 1991. Manual untuk Paramedis Kesehatan Hewan. PT Tiara Wacana. Yogyakarta.
Hadi, U. K. dan Saviana, S. 2000. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosis dan Pengendaliannya. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hall, H. T. B. 1977. Deseases and Parasites of Livestock in The Tropic. 1st Edition. Longman Group Ltd, London.
Helminths, 2009. Ascaridia galli. (http://zsienvis.nic.in/Gallery/helminths _gallery/helminths.html). Tanggal akses 16 Desember 2010.
Kadarsan, S., S. Achmad, P. Ending, B. M. Hasan, B. Iyok, S. Hartini. 1983. Binatang Parasit. Lembaga Biologi Nasional - LIPI, Bogor.
Levine. D. N. 1994. Parasitologi Veteriner. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Murtidjo, B. A. 1993. Memelihara Domba. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Santosa, U. 1995. Tatalaksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sara, 2009. Raillietina tetragona. (http://www.fotolog.com/saraygv23/62949308). Tanggal akses 16 Desember 2010.
Siregar, B.S. 1997. Penggemukkan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta
Subronto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sudarmono, A. S. 2008. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sugeng, Y. B. 2000.Ternak Potong dan Kerja. Edisi I. CV. Swadaya, Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Teknik Anamnesa dan Analisis Kondisi Peternakan Rakyat
Tabel 1. Data Wawancara dengan Peternak
No.
|
Pertanyaan
|
Jawaban
|
1
|
Nama peternak
|
Bpk. Ariyanto
|
2
|
Alamat
|
MT. Haryono No. 82
|
3
|
Pendidikan
|
PT
|
4
|
Pendidikan tambahan keahlian beternak
|
Kursus
|
5
|
Kapan mulai beternak
|
1978
|
6
|
Jumlah kepemilikan ternak
|
4 ekor sapi perah dan 7 sapi potong
|
7
|
Riwayat kejadian penyakit
|
Gangguan pencernaan
|
8
|
Tanda sakit yang terlihat (sebutkan tanda sakit yang diketahui ternak)
|
Tidak mau makan dan tidak keluar susunya walaupun diperah.
|
9
|
Sebutkan sakitnya
|
Diare, kembung dan aradang ambing.
|
10
|
Penanganan stelah sakit
|
Disuntik antibiotik, menggerakkan rumen, diberi mineral, penstrep dan aquabidest.
|
11
|
Pencegahan supaya tidak sakit
|
Sanitasi kandang, pengambilan susu harus tuntas serta pembersihan ambing setelah dan sebelum pemerahan.
|
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2010.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Kandang dan Lingkungannya
No.
|
Bagian
|
Kondisi
|
1
|
Lokasi kandang (cuaca, jarak kandang dengan pemukiman, dengan keramaian, dengan ternak lainnya, dll)
|
Sesuai, alasannya karena sapi perah cocok di daerah dingin, jarak dengan pemukiman dan keramaian juga jauh karena letak kandang agak masuk ke dalam.
|
2
|
Bangunan kandang(atap, lantai, tempat pakan/minum, sanitasi, sinar masuk, dll)
|
Sesuai, alasannya karena telah memenuhi kebutuhan ternak.
|
3
|
Sumber air
|
Sumur
|
4
|
Kebersihan lingkungan tempat pakan/minum, penampung air, sanitasi, buangan feses, dll)
|
Cukup bersih karena sanitasi dan pembersihan tempat pakan atau minum tiap hari dibersihkan.
|
5
|
Kapasitas kandang
|
Cukup
|
6
|
Lain-lain
|
-
|
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2010.
Tabel 3. Kondisi Ternak
No.
|
Bagian tubuh yang diamati
|
Kondisi
|
1
|
Kebersihan permukaan tubuh ternak/kulit
|
Kotor, karena ada ternak yang tubuhnya terkena fesesnya.
|
2
|
Performan ternak
|
Gemuk
|
3
|
Nafsu makan / minum
|
Baik
|
4
|
Aktivitas ternak
|
Lincah
|
5
|
Bagian tubuh ternak yang nampak sakit
|
Sapi perah yang sedang bunting terdapat luka di bagian belakang.
|
6
|
Perlakuan terhadap ternak yang sakit
|
Diperhatikan dan pada ternak yang sakit selalu diberi mineral agar ternak tetap kuat.
|
7
|
Zooteknik pemeliharaan (pemberian pakan/minum, kondisi pakan, dll).
|
Pemberian pakan sesuai 1/10 dari bobot badan sapi.
|
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2010.
Lampiran 2. Penilaian Kesehatan Ternak
Tabel 4. Data Ternak Sapi Indukan
No.
|
Data Tentang
|
Keterangan.
|
1
|
Jenis Ternak
|
Sapi Perah
|
2
|
Kelamin
|
Betina
|
3
|
Umur
|
4 tahun
|
4
|
Status Fisiologis
|
Gemuk
|
5
|
Lokasi kandang
|
Strategis
|
6
|
Pemilik
|
Bpk. Ariyanto
|
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2010.
Tabel 5. Pengamatan Tingkah Laku Ternak Sapi
No.
|
Pengamatan
|
Kondisi
|
1
|
Pengamatan dari jauh dengan ternak
· Aktivitas ternak
· Sikap berdiri
|
Lincah
Normal
|
2
|
Pengamatan dari dekat dengan ternak
· Tatap mata
· Bulu kulit permukaan tubuh
· Kondisi permukaan tubuh
· Aktivitas gerakan dari
1. Ekor
2. Kepala
3. Gumba
4. Kaki
5. Daun telinga
· Lobang tubuh dalam kondisi tidak normal (mulut, mata, hidung, telinga, anus, vulva/penis, putting susu)
· Gerakan nafas
· Nafsu makan/minum
· Ruminasi
· Kondisi feses yang keluar
|
Aktif
Mengkilat
Agak kotor
Aktif
Aktif
Aktif
Tidak Aktif
Aktif
·Mulut : normal
· Mata : normal
· Hidung : normal
· Telinga : normal
· Anus : normal
· Penis : normal
Dada dan perut bergantian.
Baik
Baik
Normal
|
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2010.
Lampiran 2. Penilaian Kesehatan Ternak (lanjutan)
Tabel 6. Pemeriksaan Fisik Sapi
No.
|
Organ Tubuh Bagian
|
Kondisi
|
1
|
Pupil mata
|
Normal
|
2
|
Perasaan apabila ditekan di bagian
· Bagian Rumen
· Bagian Dada
|
Tidak sakit
Tidak sakit
|
3
|
Suhu tubuh (thermometer pada anus)
|
Rata: 37,9 ºC, 3 kali periksa
|
4
|
Gerakan usus halus
|
Normal
|
5
|
Denyut nadi
|
Rata : 34 x/menit, 3 kali periksa
|
6
|
Suara paru-paru
|
Normal
|
7
|
Gerak rumen
|
Normal
|
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2010.
Tabel 7. Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Kesehatan
No.
|
Bagian
|
Kondisi
|
1
|
Bagunan kandang
|
Cukup baik dan sesuai untuk ternak.
|
2
|
Sanitasi kandang
|
Sanitasi kandang 2 x sehari.
|
3
|
Pembuangan kotoran
|
Cukup baik, karena sudah tersdia penampungannya.
|
4
|
Pakan dan minum
|
Sangat baik dan dilakukan secara teratur.
|
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2010.
Lampiran 3. Pengamatan Parasit
No.
|
Gambar Parasit
|
No
|
Gambar Parasit
|
1.
|
4
| ||
Ascaris sp.
|
Larva Gastrorhilus intestinolis
| ||
2.
|
5
| ||
Dilofilariu sp.
|
Oesophagustomum sp
| ||
3.
|
6
| ||
Dipteral hipoboscide
|
Railletina sp.
| ||
7
|
10
| ||
Hipobosca sp.
|
Parascaris
| ||
8
|
11
| ||
Musca domestica
|
Tabanus sp.
| ||
9
|
12
| ||
Lymnea rubiginasa
|
Metastrongylus sp.
| ||
13
|
16
| ||
Hipoboscha
|
Trichuris kambing
| ||
14
|
17
| ||
Stomoxys sp.
|
Parampistomum
| ||
15
|
18
| ||
Raillietina sp.
|
Stomoxys calcitrans
|
19
|
22
| ||
Moniezia
|
Haemonchus
| ||
20
|
23
| ||
Faciola g
|
Bibtera hippoboscide
| ||
21
|
24
| ||
Ageuris sp
|
Fasciola sp
|
25
| |
Haemonchus
| |
26
| |
thanks ya informasinya!!!
ReplyDeletega ada daftar pustakanya ya
ReplyDelete