Wednesday, October 26, 2011

LAPORAN PRAKTIKUM PRODUKSI TERNAK POTONG DAN KERJA (PTPK)

LAPORAN PRAKTIKUM PRODUKSI TERNAK POTONG DAN KERJA (PTPK) DAPAT DI DOWNLOAD DISINI


JUDUL          : LAPORAN  PRAKTIKUM PRODUKSI TERNAK POTONG    

                          DAN KERJA



HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Bahan Kering Pakan
            Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 1. Perhitungan BK Jerami
Loyang
Berat Loyang
(g)
Berat Sampel Sebelum Dioven (g)
Berat Loyang + Sampel Setelah Dioven (g)
1
2
41,158
40,99
10,000
10,001
50,131
50,009
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.
BK Jerami 1    = 
                        = 
                        = 89,73 %
BK Jerami 2    = 
                        = 
                        = 90,18 %
Rata – rata BK Jerami = 
                                    = 
                                    = 89,955 %
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan pada semua bahan pakan yang menjadi sampel. Sampel yang digunakan dalam praktikum adalah berupa bahan kering. Hasil praktikum menunjukan BK jerami adalah 89,955%. Jerami yang di jadikan sampel merupakan jerami yang sudah kering, sehingga kadar BK dari jerami sangat tinggi. Menurut Siregar (2007) yang menyatakan bahwa kandungan bahan kering pada jerami berkisar antara 82 - 87%.        Willamson dan Payne (1993) menambahkan bahwa kandungan air pada setiap bahan pakan berbeda-beda tergantung dari berbagai faktor yang mempengaruhinya diantaranya faktor tanah, iklim, lingkungan, dan lain-lain.

Tabel 2. Perhitungan BK Konsentrat
Loyang
Berat Loyang
(g)
Berat Sampel Sebelum Dioven (g)
Berat Loyang + Sampel Setelah Dioven (g)
1
2
6,503
5,615
10,001
10,010
15,398
14,539
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.
BK Konsentrat 1 = 
                            = 
                            = 88,94 %
BK Konsentrat 2 = 
                            = 
                            = 88,16 %
Rata – rata BK Konsentrat  = 
                                             = 
                                             = 89,10
Tabel 3. Perhitungan BK Bekatul
Loyang
Berat Loyang
(g)
Berat Sampel Sebelum Dioven (g)
Berat Loyang + Sampel Setelah Dioven (g)
1
2
6,461
6,8
10,000
10,029
15,468
15,560
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.
BK Bekatul 1  = 
                        = 
                        = 90,07 %
BK Bekatul 2  = 
                        = 
                        = 87,57 %
Rata – rata BK Bekatul
                                     
                                     = 88,82 %

  
Tabel 4. Perhitungan BK Bungkil Kelapa
Loyang
Berat Loyang
(g)
Berat Sampel Sebelum Dioven (g)
Berat Loyang + Sampel Setelah Dioven (g)
1
2
6,655
6,6
10,000
10,001
9,578
15,273
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.
BK Bungkil 1  = 
                        = 
                        = 29,23 %
BK Bungkil 2  = 
                        = 
                        = 86,72 %
Rata – rata BK Bungkil  = 
                                        = 
                                        = 57,975 %
Tabel 5. Perhitungan BK Ampas Bir
Loyang
Berat Loyang
(g)
Berat Sampel Sebelum Dioven (g)
Berat Loyang + Sampel Setelah Dioven (g)
1
2
6,599
6,6
10,001
10,009
15,424
9,57
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.
BK Ampas Bir 1 = 
                           
                           
                            = 88,2 %
BK Ampas Bir 2 = 
                            = 
                            = 30,54 %
Rata – rata BK Ampas Bir   = 
                                             = 
                                             = 59,37 %
Hasil praktikum menunjukan BK konsentrat adalah 89,10%, BK bekatul adalah 88,82%, BK bungkil kelapa adalah 57,975%, dan BK ampas bir adalah 57,37%. Kandungan BK pada setiap sampel cukup tinggi karena sampel sudah merupakan bahan pakan yang kering. Menurut pendapat Siregar (2007) yang menyatakan BK dedak adalah sekitar 89%, BK ampas bir sekitar 87% dan BK bungkil kelapa sekitar 89%. Tillman et al. (1991), menambahkan bahwa konsentrat memiliki BK yang cukup tinggi.


Pertumbuhan dan Perkembangan
            Berdasarkan hasil praktikum Pertumbuhan dan Perkembangan pada Sapi PO1, diperoleh data sebagai berikut :

BB Awal    = 342
BB Akhir   = 337 kg
Lama pemeliharaan = 7 hari
PBBH       
                  
                   =  -0,71 kg/hari

Berdasarkan hasil praktikum didapat hasil PBBH pada sapi PO1 adalah                 -0,71 kg/hari dengan lama pemeliharaan selama 7 hari. Jika dilihat dari data yang didapat selama 7 hari, hal ini tidak sesuai dengan pendapat Siregar (2007) bahwa PBBH dari sapi PO kira–kira 0,7 kg/hari. Tetapi sebenarnya perameter perhitungan PBBH sapi kurang lebih selama 120 hari, dan biasanya didapat hasil PBBH sebesar 0,9 – 1 kg/hari sehingga  sesuai dengan pendapat Siregar (2007). PBBH target yang akan di capai pada kloter ke dua adalah sebesar 0,75 kg/hari. PBBH target tidak tercapai karena pada PBBH kloter pertama mengalami kenaikan yang tidak lazim yaitu 1,46 kg/hari, sehingga ada pertumbuhan kompensatori untuk menormalkan laju pertumbuhan pada sapi PO1. Hal ini sesuai dengan pendapat Murtidjo (1990) yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi penambahan bobot badan pada sapi adalah pemberian pakan yang diberikan, ukuran tubuh, bobot badan dewasa, jenis kelamin, umur, genetik, tipe, kecernaan terhadap makanan, pH, temperatur, kelembaban dan pengaruh cuaca.
    
Pengamatan Fisiologi Ternak
Berdasarkan hasil praktikum Pengamatan Fisiologi Ternak pada Sapi PO1, diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 6. Hasil Pengamatan Fisiologi Ternak
Waktu
Suhu Rektal
(oC)
Denyut Nadi (kali/menit)
Frekuensi Nafas
(kali/menit)
06.00
12.00
18.00
24.00
36,8
38,1
37,7
31,1
63
69
66
58
26
16
30
26
Rata-rata
37,4
64
25
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.
Berdasarkan hasil praktikum didapat suhu rektal sapi PO1 rata-rata 37,40C. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Sugeng (1999) bahwa kisaran tubuh normal pada sapi adalah 38,5 - 39,60C dengan suhu kritis 400C. Hal ini dipengaruhi oleh suhu kandang dan suhu lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugeng (1999) bahwa suhu tubuh sapi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitasnya dan kondisi lingkungan.
Hasil pengukuran frekuensi rata-rata dari denyut nadi sapi PO1 adalah 64 kali per menit. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Akoso (1996) bahwa frekuensi denyut nadi pada ternak sapi yang sehat adalah 50–60 kali per menit. Hal ini dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik yang terdiri dari lingkungan, aktivitas dan stress. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1991) bahwa frekuensi denyut nadi pada ternak yang sehat adalah 60 70 kali per menit.
Hasil pengukuran frekuensi nafas pada sapi mempunyai rata-rata 25 kali per menit. Frekuensi pernafasan yang diukur pada praktikum ini didapat hasil yang normal, karena sesuai dengan pendapat Akoso (1996) bahwa frekuensi napas rata-rata pada sapi adalah 20 - 30 kali per menit. Hasil yang didapatkan normal karena waktu pengukuran frekuensi nafas, ternak dalam keadaan yang sehat. Menurut Frandson (1993) frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran tubuh, umur, aktivitas ternak, kebuntingan, lingkungan dan aktivitas pencernaan terutama pada rumen.
Hubungan antara fisiologi ternak dengan fisiologi lingkungan yakni saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Apabila suhu lingkungan meningkat, maka suhu dari tubuh ternak juga kan meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugeng (1999) bahwa suhu tubuh sapi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, kondisi, aktivitasnya dan kondisi lingkungan. Selain itu frekuensi nafas selain dipengaruhi oleh kondisi ternak juga dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1993) bahwa frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran tubuh, umur, aktivitas ternak, kebuntingan, lingkungan dan aktivitas pencernaan terutama pada rumen.
  
Pengamatan Fisiologi Lingkungan
Berdasarkan hasil praktikum Pengamatan Fisiologi Lingkungan pada Sapi PO1, diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 7. Hasil Pengukuran Fisiologi Lingkungan
Tanggal
Waktu
Mikroklimat
Makroklimat
Suhu (0C)
RH (%)
Suhu (0C)
RH (%)
08-10-2010
06.00
23
92
22
90

12.00
28
75
23,5
83

18.00
24
95
22
100

21.00
22
98,5
20,5
100
09-10-2010
06.00
23
92
21
85

12.00
28,5
89
23,5
75

18.00
24,5
86
21
95

21.00
22
97
21
100
10-10-2010
06.00
22
91
19
82

12.00
28
63
25
62

18.00
29
92
24
70

21.00
25
80
20
84
11-10-2010
06.00
22,5
89
20
84

12.00
29
85
28,5
83

18.00
27
74
24
94

21.00
25
94
22
96
12-10-2010
06.00
23
95
20
80

12.00
30
80
32
48

18.00
29
62
25
55

21.00
26
79
22
72
13-10-2010
06.00
24
89
21
81


12.00
18.00
21.00
33,5
28
27
53
80
80
31
24
23,5
61
88
76
14-10-2010



06.00
12.00
18.00
21.00
22
23,5
25
26
93
55
87
78
24
29,5
17
17
94
51
82
72
Rata-rata
Per jam


Rata-rata
06.00
12.00
18.00
21.00

22,78
28,64
26,64
24,71
25,34
81,71
66,42
71,86
78,78
82,98
21
27,07
22,28
20,85
22,96
85,14
66,14
83,43
85,71
80,11
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.
Hasil pengamatan pada suhu udara mikroklimat dan makroklimat di lingkungan kandang selama masa pemeliharaan, diperoleh hasil rata-rata pada suhu mikroklimat 25,34oC dan suhu makroklimat 22,960C. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Santoso (1995) bahwa kisaran suhu yang cocok untuk memelihara sapi potong adalah 27 – 34oC. Suhu udara sangat mempengaruhi kehidupan ternak sapi, menurut pendapat Abidin (2002) suhu yang tinggi bisa menyebabkan konsumsi pakan menurun dan berakibat pada menurunnya laju pertumbuhan. Menurut pendapat Wiliamson dan Payne (1993) di daerah tropis rata-rata suhu tahunan 26oC dan suhu pada siang hari bisa mencapai 32oC atau lebih.
Hasil pengamatan dari kelembaban udara mikroklimat dan makroklimat di lingkungan kandang, diperoleh hasil rata-rata pada kelembaban mikroklimat sebesar 82,98% dan kelembaban makroklimat 80,11%. Kelembaban yang tinggi disebabkan oleh letak geografis kandang yang di daerah panas. Kelembaban di lingkungan kandang tersebut tidak sesuai dengan pendapat Abidin (2002), yang menyatakan bahwa kisaran kelembaban udara untuk sapi yang baik adalah 60 - 80%. Menurut pendapat Santosa (1995) kelembaban yang tinggi dapat menaikkan frekuensi minum, hal ini disebabkan ternak memerlukan lebih banyak air untuk pendinginan tubuh secara penguapan.

Evaluasi Pakan
Berdasarkan hasil praktikum Evaluasi Pakan pada Sapi PO1, diperoleh data sebagai berikut :
Perhitungan Kebutuhan Pakan
Nomor sapi                  = PO1
BB Awal                     = 342 kg
PBBH Sasaran                        = 0,75 kg
Lama Pemeliharaan     = 7 hari
BK Jerami                   = 89,95 %
BK Konsentrat            = 90,22 %
Perbandingan konsentrat : jerami = 50 % : 50 %
Konsumsi pakan per hari         =  2,6 %  x  BB awal
                                          =  2,6 %  x  342 kg  
                                          =  8,892  kg BK
Pemberian jerami   = 
                               = 
                               = 4,44 kg BK
Konversi BS          = 
                               =
                               = 4,94 kg BS
Pemberian konsentrat  =
                                                = 4,44 kg BK
Konversi BS          = 
                               =
                               = 4,92 kg BS

            Rata-rata konsumsi pakan sebesar 2,6% dari bobot badan minimal konsumsi, sehingga pakan yang dikonsumsi tidak akan tersisa dan apabila ada sapi rata-rata konsumsinya kurang dari 2,6%, sapi tersebut dipaksa untuk mengkonsumsi pakan sampai 2,6%. Berdasarkan hasil praktikum, dengan perbandingan pemberian pakan 50% jerami dan 50% konsentrat, konsumsi rata-rata pemberian jerami adalah sebesar 4,94 kg BS dan konsentrat sebesar          4,92 kg BS. Konsumsi rata-rata pemberian pakan tersebut dipengaruhi oleh kemampuan ternak dalam mengkonsumsi pakan itu sendiri dan parameter yang digunakan adalah berat badan sapi. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (2007) bahwa kemampuan sapi ataupun ternak lainnya dalam mengkonsumsi ransum adalah terbatas. Dalam mengkonsumsi ransum, ternak tidak dapat sempurna dalam mencerna. Menurut Akoso (1996) keterbatasan ini dipengaruhi oleh banyak faktor yang mencakup faktor ternak itu sendiri, keadaan ransum, suhu udara, dan kelembapan udara.

Tabel 8. Kebutuhan Pakan
Bobot Hidup (kg)
PBBH (kg/hari)
BK
350
400
0
0
5
5,7
Sumber : Kearl, 1982.
Bobot target    = 
                     = 
                     = 339,51 kg
Kebutuhan BK pakan (x) dengan interpolasi menurut Kearl
            Û 
            Û 
            Û 
            Û 0,79 x 0,7 = x – 5
            Û          0,71 = x – 5
            Û               x = 5 + 0,71
            Û               x = 5,71 kg

Pemberian jerami   = 
                               = 
                               = 2,85 kg BK
Konversi BS          = 
                               =
                               = 3,17 kg BS
Pemberian konsentrat  = 
                                                = 
= 2,85 kg BK
Konversi BS          =                                
                              =
                               = 3,16 kg BS

Tabel 9. Konsumsi Pakan
Tanggal
Jerami (kg)
Konsentrat (kg)

P
S
K
P
S
K
8/ 10/ 2010
9/ 10/ 2010
10/ 10/ 2010
11/ 10/ 2010
12/ 10/ 2010
13/ 10/ 2010
14/ 10/ 2010
4,9
4,9
4,9
4,9
5,1
5,1
5,1
1,7
0,3
2
2
3,3
1,5
1,6
3,2
4,6
2,9
2,9
1,8
3,6
3,5
4,8
4,8
4,8
4,8
5,0
5,0
5,0
-
-
-
-
-
-
-
4,8
4,8
4,8
4,8
5,0
5,0
5,0
Total
34,9
12,4
22,5
34,2
-
34,2
Rata-rata
4,98
1,77
3,21
4,88
-
4,88
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.
Konsumsi BK Hijauan = 
                                      = 
                                      = 2,70 kg BK
Konsumsi BK Konsentrat       = 
                                           = 
                                           = 4,32 kg BK
Konsumsi BK total = konsumsi BK hijauan + konsumsi BK konsentrat
                                 = 2,70 kg  +  4,32 kg
                                 = 7,02 kg BK
% konsumsi BK       = 
                                 = 
                                 = 2,08 %
Berdasarkan hasil praktikum, konsumsi pakan rata-rata untuk jerami adalah 2,70 kg/hari dan konsentrat adalah sebesar 4,32 kg/hari. Kemampuan konsumsi sapi PO 1 adalah 2,08 %. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan bahwa besarnya konsumsi BK sapi PO adalah 2-3 %. Dapat dilihat dari tabel bahwa tingkat konsumsi konsentrat lebih tinggi daripada jerami. Hal ini mungkin terjadi karena tingkat palatabilitas konsentrat lebih tinggi daripada jerami. Jumlah konsumsi jerami maupun konsentrat tiap harinya berbeda, hal ini di karenakan pengaruh lingkungan di kandang yang berubah ubah. Sesuai dengan pendapat Parakkasi (1990) bahwa tingkat konsumsi ternak pedaging dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor dari hewan itu sendiri, makanan yang diberikan dan lingkungan tempat hewan dipelihara. Menurut pendapat Sugeng (1992) semakin tinggi suhu lingkungan maka konsumsi pakan akan menurun. Hal ini disebabkan metabolisme tubuh ternak terus-menerus berjalan dan menghasilkan panas. Panas tubuh ini akan terus meningkat sejalan dengan laju metabolisme dan akan sulit dikeluarkan oleh ternak, maka ternak berusaha mengurangi konsumsi pakannya jika suhu lingkungan tinggi. Ternak akan selalu berusaha mengeluarkan panas tubuh sehingga tubuh ternak tersebut tetap terjaga (homeotermis) dengan cara memperluas permukaan tubuh, mempercepat frekuensi pernapasan, mengurangi konsumsi pakan dan menambah air minum.

Tabel 10. Perhitungan BK Feses
Loyang
Berat Loyang
(g)
Berat Feses   Sebelum Dioven (g)
Berat Loyang + Feses Setelah Dioven (g)
1
2
33,476
32,748
10,001
10,000
34,837
35,745
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja, 2010.
BK Feses   1    = 
                        = 
                        = 22,69 %
BK Feses   2    = 
                        = 
                        = 20,89 %
Rata – rata BK Feses = 
                                    = 
                                    = 21,79 %

Bobot feses dalam BK            =  
                                     = 
                                      = 4,03 kg
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, diperoleh data rata-rata BK feses untuk sapi PO1 adalah sebesar 21,79%, dan bobot feses dalam BK adalah sebesar 4,03 kg. Dari segi hasil yang didapat untuk BK feses sudah didalam kategori normal, menurut pendapat Tillman et al. (1991), kisaran jumlah BK feses untuk sapi adalah sebesar 20 - 30 %. Tetapi untuk hasil bobot feses dalam BK masih terlalu tinggi dan dianggap tidak normal, menurut pendapat            Siregar (2007) bobot feses dalam BK normal sebesar 1,5 - 2,5 kg.
Perhitungan Konversi Pakan
PBBH                         = -0,71 kg/hari
Konsumsi total BK     = 7,02 kg
Konversi Pakan          = 
                                    = 
                                    = -9,8 %
Berdasarkan data hasil praktikum di peroleh nilai konversi pakan sapi PO1 adalah  sebesar -9,8%. Hal ini berarti tidak ada dari jumlah pakan yang dapat yang dapat diubah menjadi bobot badan. Konversi pakan sapi PO1 sebesar -9,8 kg. Hasil tersebut tidak mencukupi hasil normal yang sesuai dengan pendapat  Murtidjo (1990) bahwa konversi pakan normal adalah sekitar 8,56 - 9,22. Berarti pakan yang digunakan untuk menaikkan bobot badan pada sapi ini kurang memenuhi ransum, dikarenakan kandungan nutrien sangat kurang untuk diserap oleh tubuh ternak. Menurut Blakely dan Bade (1991)  bahwa konversi pakan merupakan petunjuk berapa persen konsumsi pakan diubah menjadi daging. Menurut Siregar (1994) semakin tinggi nilai konversi pakan berarti pakan yang digunakan untuk menaikkan bobot badan persatuan berat semakin banyak atau efisiensi pakan rendah. Konversi pakan dipengaruhi oleh kondisi sapi, palatabilitas pakan, kondisi musim dan manajemen.
Perhitungan Efisiensi Pakan
PBBH                         = 0,71 kg/hari
Konsumsi total BK     = 7,02 kg
Efisiensi Pakan           = 
                                    = 
                                    = -10,1 %
Berdasarkan hasil praktimum, diperoleh efisiensi pakan pada sapi PO1  sebesar -10,1 %. Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi pakan tidak normal, ketidak normalan efisiensi pakan pada sapi PO1 dapat disebabkan oleh faktor konsumsi dan lingkungan, menurut Sinegar (2007) semakin tinggi efisiensi pakan semakin cepat pula pertumbuhannya. Menurut Santosa (1994) efisiensi pakan yang normal pada sapi sekitar 10,8%. Efisiensi pakan adalah perbandingan antara jumlah unit produk yang dihasilkan dengan jumlah unit konsumsi pakan dalam satuan waktu yang sama. Efisiensi pakan yang terjadi dipengaruhi oleh kecernaan pakan dan kemampuan ternak untuk mencerna pakan. Efisiensi pakan ini perlu diketahui dalam rangka pemeliharaan ternak sebab peternak akan mencari ternak yang mempunyai efisiensi tinggi guna menekan biaya pakan dan juga biaya produksi lainnya.
Perhitungan Daya Cerna
Total Feses BK           = 4,8 kg
Konsumsi total BK     = 7,02 kg
Daya Cerna                 = 
                                    = 
                                    = 42,5 %
Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh daya cerna Sapi PO1 sebesar    42,5%. Hal ini menunjukan bahwa sapi PO1 dapat mencerna pakan sebanyak 42,5% dari pakan yang telah di berikan. Hal  ini berarti pakan yang mampu dicerna oleh ternak tidak normal. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Siregar (2007) bahwa kisaran normal daya cerna pada ternak adalah 60 - 70%. Hal ini juga tidak sesuai dengan pendapat Tillman et al. (2004), yang menyatakan bahwa daya cerna makanan yang mengandung 9% protein samadengan 66,7% daya cerna. Hal ini dikarenakan total koleksi yang digunakan hanya satu hari, sehingga tidak mampu untuk meminimalisir kesalahan yang terjadi. Menurut Blakely dan Bade, (1994) faktor - faktor yang mempengaruhi daya cerna adalah suhu, komposisi ransum dan bentuk fisik bahan makanan.
Perhitungan Feed Cost per Gain
Feed Cost per Gain =
=
= Rp. -13.757,7,- Per kg bobot badan per hari
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa total  feed cost per gain untuk sapi PO1 jika jumlah pemberian tidak sama dengan konsumsi adalah sebesar -13.757,7,- per kg bobot badan per hari. Menurut pendapat Siregar (1994) yang menyatakan bahwa feed cost per gain adalah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan bobot badan harian. Menurut pendapat Frandson (1993) bahwa biaya operasional adalah biaya variabel dalam usaha penggemukan sapi potong yang nilainya berkorelasi positif dengan total produk. Feed cost/gain dihitung berdasarkan harga pakan yang diberikan dibagi Pertambahan Bobot Badan Harian.
  
Evaluasi Perkandangan
Berdasarkan hasil praktikum Evaluasi Perkandangan, diperoleh data sebagai berikut :



Keterangan :
1.     Atap
2.      Tiang
3.      Tembok
4.      Selokan
5.      Gang way

Ilustrasi 1. Kandang Tampak Depan
Sumber: Data Primer Praktikum Ternak Potong dan Kerja, 2010.

 Keterangan :
1.      Atap
2.      Sekat
3.      Tiang
4.      Palung
5.      Ventilasi
6.      Bak air
 Ilustrasi 2. Kandang Tampak Samping
Sumber: Data Primer Praktikum Ternak Potong dan Kerja, 2010.

 Keterangan :
1.      Kran air
2.      Atap
3.      Tiang
4.      Bak air
5.      Selokan
6.      Gang way
Ilustrasi 3. Kandang Tampak Belakang
Sumber: Data Primer Praktikum Ternak Potong dan Kerja, 2010.

 Keterangan :
1.      Teras
2.      Palung
3.      Tempat sapi
4.      Selokan dalam
5.      Sekat
6.      Bak air
7.      Selokan dalam
8.      Gang way
            Ilustrasi 4. Kandang Tampak Atas
Sumber: Data Primer Praktikum Ternak Potong dan Kerja, 2010.

Keterangan :
1.      Parkiran
2.      Kandang unggas
3.      Lab. Sentral
4.      Kandang kerbau
5.      Mess
6.      Kandang
7.      Tempat penimbangan ternak
8.      Kandang potong
9.      Kandang perah
10.  Gudang pakan
            Ilustrasi 5. Denah Perkandangan
Sumber: Data Primer Praktikum Ternak Potong dan Kerja, 2010.
Berdasarkan praktikum yang dilakukan, diketahui bahwa sistem kandang Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro pada kandang sapi disesuaikan dengan keadaan daerah Semarang yang panas. Dibuktikan dengan ketinggian atap. Kandang sapi mempunyai yang digunakan mempunyai tipe tail to tail. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugeng (1999), bahwa tipe kandang ada du macam yaitu tipe tail to tail dan face to face. Tipe tipe tail to tail dapat mempermudah sanitasi dan pengawaan kesehatan sapi. Tipe perkandangan harus tepat untuk menjaga kesehatan ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat   Abidin (2008), kandang berfungsi untuk melindungi ternak, tempat istirahat ternak, mengontrol ternak, dan memudahkan pelaksanaan pemeliharaan. Serta sistem  ventilasi pada kandang sangat tepat, membuat ternak lebih nyaman dan mudah untuk beradaptasi.
  
Ukuran Kandang
Panjang kandang         = 13 m
Lebar kandang                        = 7,5 m
Palung   : Panjang palung       = 12, 4 m
                 Tinggi palung          = 75 cm
                 Lebar palung           = 55 cm
                 Dalam palung         = 50 cm
Panjang selokan luar   = 16,15 m
Lebar selokan luar       = 25 cm
Perhitungan Carrying Capacity
Bedasarkan hasil praktikum Perhitungan Carrying Capacity, diperoleh data sebagai berikut :
Luas lahan                   = 8 ha
                                    = 80.000 m2
Sampel I                      = 2,3 kg/m2
Sampel II                    = 1,7 kg/m2
Sampel III                   = 2 kg/m2
BK Rumput gajah       = 25 %
a. Produksi lahan/tahun
  Û rata-rata produksi/m2    = 
                                             = 2 kg BS/m2
  Û Prduksi lahan 8 ha        = rata-rata berat sampel x luas lahan
                                             = 2 x 80.000
                                             = 160.000 kg BS
                                             = 160 ton
     Produksi lahan/tahun      = 
                                             = 
                                             = 720.000 + 240.000
                                             = 960 ton/tahun
                                             = 960.000 kg BS/tahun                                                  b. Produksi lahan/hari
       Produksi lahan/hari       = 
                                             = 
                                             = 2630,137 kg BS/hari
  Produksi per hari dalam BK   = 
                                                  = 657,53 kg BK/hari
c. Carrying Capacity
     Û   Bobot sapi = 334,65 kg
            Kebutuhan BK/hari = 2,6 % dari bobot sapi
                                             = 
                                             = 8,700 kg/hari
     Û   1 AU   = 1 sapi dewasa 334,65 kg
                        = 
                        = 0,956 AU





     Û   CC       = 
                        = 
                        = 75,57 ekor
                        = 
                        = 79,05
                        = 79 ekor
Hasil carrying capacity menunjukkan 79,05 AU, jadi lahan rumput gajah dengan BK 25% seluas 8 hektar dapat mencukupi kebutuhan 79 ekor sapi dewasa. Hal ini dijelaskan oleh Williamson dan Payne (1993), bahwa  kualitas tanaman pakan ternak sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan, curah hujan, panjangnya hari, dan intensitas radiasi cahaya matahari. Menurut Blakely dan Bade, (1994), bahwa, 1 AU untuk 1 ekor sapi dewasa; 0,5 AU untuk satu ekor sapi muda dan 0,25 AU untuk 1 ekor pedet.

  


KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil praktikum Produksi Ternak Potong dan Kerja dapat diambil kesimpulan bahwa sapi PO1 tidak mengalami kenaikan bobot badan. Pakan yang diberikan adalah jerami dan konsentrat yang dikonsumsi selama satu minggu dengan perbandingan yang sama. Fisiologi ternak pada sapi PO1 dalam keadaan normal dari suhu rektal, denyut nadi, dan frekuensi nafas. Sedangkan untuk suhu dan kelembaban makro maupun mikro sudah sesuai dengan suhu dan kelembaban normal yang diharapkan. Tetapi keadaan fisiologis lingkungan sangat berpengaruh dengan pertumbuhan sapi. Hasil efisiensi, konversi, dan daya cerna pakan tidak sesuai dengan efisiensi, konversi, dan daya cerna pakan yang diharapkan. Hasil feed cost per gain mengalami kerugian. Sedangkan hasil carrying capacity menunjukkan dalam keadaan normal. Kandang sapi potong di Laboraturium Ilmu Ternak Potong dan Kerja sudah memenuhi syarat dan berbentuk stanchion barn dengan tipe tail to tail.
            Saran untuk kegiatan praktikum yang akan datang agar semua kebutuhan dikandang lebih disediakan lagi dan diusahakan atap kandang diganti dengan bahan yang mampu menyerap panas dengan optimal, supaya dalam pelaksanaan praktikum dapat mengerjakannya secara optimal. Kami juga berharap kerjasamanya dengan asisten dalam pembuatan laporan.
  

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2008. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media, Jakarta.
Akoso, B. T. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.

Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia, Jakarta.

Blakely, J. dan D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (Diterjemahkan oleh B. Srigandono dan Soedarsono)

Darmono. 1992. Tata Laksana Usaha Sapi Kereman. Kanisius, Yogyakarta.
Frandson. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (Diterjemahkan oleh R. Djanuar).

Murtidjo. 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta.

Parakkasi, A. 1990. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia, Jakarta.

Santosa, U.  1995.  Tata Laksana Usaha Sapi Keraman.  Penebar Swadaya, Jakarta.

Siregar, B.S. 2007. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya, Jakarta
.
Sugeng, Y. B. 1999. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.

Tillman, A. D., Hartadi H., Reksohadiprojo S., Prawirokusumo S., dan Lebdosoekojo S. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Williamson, G and W.J.A.Payne.  1993.  Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gajah Mada University Press Yogyakarta (Diterjemahkan oleh Djiwa Darmadja dan Ida Bagus Djadra).

1 comment:

Comment Me