Laporan Praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak dapat Di Download DISINI
BAB I
PENDAHULUAN
Pemuliaan Ternak merupakan salah satu pengetahuan yang berfungsi untuk mengetahui bagaimana ternak hidup dengan memperhatikan kualitas mutu genetik, caranya adalah dengan seleksi dan sistem persilangan. Sifat yang diwariskan dari induk dan pejantan kepada turunannya meliputi sifat kuantitatif dan kualitatif. Sifat kuantitatif adalah sifat atau karakter pada individu yang dapat diukur dan ditimbang. Sifat ini diexpresikan oleh banyak gen yang bersifat aditif dan pada penampilannya banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Beberapa sifat yang diwariskan dari tetua ke generasi anak antara lain, berat telur, indeks telur dan warna kulit telur.
Tujuan praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak adalah agar mahasiswa mampu menghitung rata-rata dan simpangan baku berat telur dan indeks bentuk telur. Manfaat praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak adalah mahasiswa dapat menduga angka pewarisan atau heritabilitas dan nilai korelasi genetik antara berat telur dan indeks bentuk telur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Telur Ayam
Telur ayam merupakan salah satu produk peternakan yang banyak diminati oleh kalangan luas, baik masyarakat tingkat ekonomi tinggi hingga ke bawah. Telur merupakan bahan pangan yang berkualitas tinggi bagi manusia dan sebagai sumber pakan embrio pada ayam (Yuwanta, 2004). Telur ayam memiliki sel reproduktif yang dikelilingi oleh kuning telur (yolk), albumen, membran kerabang dan kutikula. Untuk menghasilkan telur dengan mutu produk yang baik, diperlukan evaluasi terhadap pemeliharaanya, kualitas pakan dan penanganan pasca reproduksinya (Suprijatna et al., 2005).
2.1.1. Berat telur ayam
Bentuk telur ayam ras lebih besar dari pada ayam kampung. Berat telur ayam rata-rata antara 55-65 gr (Hadiwiyoto, 1983). Di Amerika Serikat klasifikasi telur didasarkan pada beratnya. Berat telur ayam sesuai dengan ayamnya. Telur tidak boleh terlalu berat ataupun terlalu kecil. Berat telur tidak boleh kurang dari 42 gram dan tidak boleh lebih dari 70-80 gram. Keseimbangan berat telur dan berat badan anak ayam adalah tetap (Sudaryani, 1996)
2.1.2. Indeks telur ayam
Bentuk telur secara umum di pengaruhi oleh faktor genetis dimana setiap induk bertelur berurutan dengan bentuk yang sama, yaitu bulat, panjang, lonjong dan sebagainya. Besar dan bobot telur yang berasal dari satu ayam bervariasi (Suprijatna et al., 2005). Bentuk telur dinyatakan dengan indeks telur, yaitu perbandingan antara diameter lebar dan panjang yang dinyatakan dalam persen. Nilai indeks telur beragam antara 65-82% dan idealnya adalah antara 70-75%. Penyebab terjadinya variasi indeks telur adalah belum diterangkan secara jelas, namun diduga sebagai akibat dari perputaran telur didalam alat reproduksi atau ditentukan oleh diameter lumen alat reproduksi (Yuwanta, 2004). Indeks bentuk telur dapat dihitung dengan melakukan perbandingan lebar telur terhadap panjang telur, kemudian dikali 100 (Suprijatna et al., 2005).
2.1.3. Warna telur ayam
Kriteria telur ayam buras yang umum adalah warna kerabang putih kekuningan atau coklat terang, adapula yang berwarna coklat tua dan coklat muda (Suprijatna et al., 2005). Warna kerabang telur tergantung pada jenis ayam dan jenis warna yang disekresikan. Warna kerabang dapat diukur dengan reflektometer berbasis pada warna magnesium karbonat atau kromameter. Warna kerabang putih memberikan angka refleksi 5 dan coklat memberikan refleksi 45 pada reflektometer (Yuwanta, 2004). Kerabang telur sebagian besar berwarna atau beragam kecoklatan. Beberapa strain ayam menghasilkan telur dengan warna kerabang coklat gelap, sedangkan yang lainnya bervariasi keputihan. Pigmen coklat pada kerabang telur adalah porhpyrin yang secara merata tersebar ke seluruh kerabang (Suprijatna et al., 2005).
2.2. Telur Puyuh
Telur burung puyuh berbeda dengan telur-telur unggas lain, meskipun berasal dari kelas yang sama dengan ayam. Telur puyuh mempunyai kandungan gizi yang cukup sempurna karena zat gizinya lengkap dan mudah untuk dicerna (Sudaryani, 1996). Bentuk telur dari berbagai bangsa burung berbeda-beda, umumnya berbentuk bulat telur, tetapi ada juga yang memanjang (Hintono, 1995). Komponen alami penyusun telur puyuh antara lain terdiri atas cangkang, membran, putih telur yang kental dan encer, membran kuning telur yang membungkus kuning telur serta kuning telur yang terdiri dari bagian yang kental dan bagian yang encer (Tim Redaksi Agromedia Pustaka, 2001). Telur puyuh mempunyai komposisi albumin 47,4%, yolk 31,9% dan kulit beserta selaput 20,7%. Tebal kulit telur 0,197 mm sedangkan selaput telur sekitar 0,063 mm (Warwick et al., 1995).
2.2.1. Berat telur puyuh
Berat telur diperoleh dengan cara menimbang telur satu persatu. Berat telur merupakan salah satu sifat yang diwariskan induk kepada anaknya. Faktor yang berpengaruh terhadap berat telur adalah berat badan puyuh, umur induk, umur saat pertama kali bertelur dan tingkat produksi telur (gen) (Hintono, 1995). Semakin tua umur pertama kali bertelur, maka akan semakin berat pula telur yang dihasilkan. Berat telur pada masa produktif puyuh selama 4 minggu pertama adalah sekitar 8,9 gram (terendah) (Noor, 1996). Telur berukuran sedang mempunyai ciri berat 94-105 butir/kg, bercaknya jelas dan mempunyai kulit telur yang tebal (Sugiharto, 2005). Bobot telur yang baik untuk ditetaskan yaitu berkisar anatara 10-11 gram (Sudaryani, 1996).
2.2.2. Indeks telur puyuh
Perhitungan indeks bentuk telur melibatkan penentuan nilai sifat-sifat yang diseleksi secara terpisah (Hintono, 1995). Semakin tinggi indeks telur, maka kualitas telur semakin baik dengan bentuk semakin bundar. Bentuk telur merupakan salah satu unsur genetik yang diturunkan dari induk kepada anknya. Untuk mengetahuinya dapat dilakukan perhitungan dengan cara lebar telur dibagi panjang telur dan hasilnya dikali seratus (Srigandono, 1997). Indeks hough pada telur puyuh adalah sebesar 77,96-80,20 (Suhermiyati, 1991). Semakin besar indeks telur dapat berarti semakin besar atau bagus kualitas pada telur tersebut.
2.2.3. Warna telur puyuh
Ciri-ciri warna telur puyuh terdapat bercak-bercak kehitaman. Ada suatu petunjuk yang memperlihatkan bahwa bercak-bercak itu tidak hanya kehitaman tetapi juga warna lain, dan warna dasarnya adalah keputihan. Warna telur dipengaruhi oleh adanya zat warna yang dikumpulkan dalam kerabang saat pembentukannya dalam uterus (Sugiharto, 2005). Telur puyuh berdasarkan warna dan corakbercak-bercaknya memungkinkan untuk membedakan telur masing-masing individu dalam kelompok puyuh yang tepat. Perbedaan warna kulit dan berat telur puyuh satu dengan yang lainnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya umur puyuh, pakan dan genetik (Sugiharto, 2005).
2.3.Heritabilitas
Heritabilitas merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan bagian antara keragaman total (yang diukur dengan ragam) dari suatu sifat yang diakibatkan oleh pengaruh genetik. Ada dua macam heritabilitas, yaitu heritabilitas dalam arti luas dimana melibatkan pengaruh gen yang aktif, sedangkan heritabilitas dalam arti sempit adalah rasio antara keragaman aditif dengan keragaman fenotip (Noor, 1996). Pada umumnya nilai heritabiitas digolongkan menjadi tiga golongan yaitu heritabilitas rendah jika berada antara 0-0,02, heritabilitas sedang jika 0,2-0,4 dan tinggi untuk nilai heritabilitasnya lebih dari 0,4 (Noor, 1996). Heritabilitas yang bernilai negatif atau lebih dari satu dapat disebabkan oleh lingkungan yang berbeda untuk keluarga kelompok yang berbeda, metode yang digunakan tidak tepat sehingga tidak dapat menunjukkan antara ragam genetik dan ragam lingkungan dengan efektif serta kesalahan dalam pengambilan contoh. (Warwick et al.,1995).
2.4. Korelasi Genetik
Korelasi genetik adalah korelasi dari pengaruh genetik aditif atau nilai pemuliaan antar kedua sifat itu. Korelasi dapat dikatakan ada jika gen-gen yang mempengaruhi sifat pertama juga mempengaruhi sifat kedua (Noor, 1996) Korelasi lingkungan termasuk pengaruh lingkungan dan pengaruh genetik yang bukan aditif. Sifat-sifat korelasi genetik biasanya digunakan untuk memperkirakan besarnya perubahan-perubahan dalam generasi berikutnya apabila digunakan sebagai kriteria seleksi (Warwick et al., 1995). Korelasi dibedakan menjadi korelasi genetik, korelasi fenotip dan korelasi lingkungan (Hardjosubroto, 1994). Korelasi genetik terjadi apabila gen yang sama mempengaruhi ekspresi dari dua sifat atau lebih. Kelemahan korelasi yaitu data harus besar untuk mendapatkan taksiran yang cukup tepat. Nilai korelasi berkisar antara -1 dan +1, yang disebut sebagai korelasi sempurna, sebab setiap penurunan atau peningkatan variabel x akan diikuti oleh peningkatan atau penurunan variabel y dalam jumlah unit yang sama (Noor, 1996).
BAB III
MATERI DAN METODE
Praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 28 Oktober 2010, pukul 15.00 – 17.00 WIB bertempat di Laboratorium Ilmu Pemuliaan Ternak dan Reproduksi Ternak Universitas Diponegoro Semarang.
3.1. Materi
Bahan yang digunakan dalam praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak adalah 50 butir telur ayam ras, sedangkan alat yang digunakan yaitu timbangan telur untuk mengetahui berat telur dan jangka sorong untuk mengetahui panjang dan lebar telur.
3.2. Metode
Tiap regu terdiri dari 2 orang praktikan, masing-masing melakukan pengamatan terhadap materi yang telah disediakan. Praktikan I melakukan pengamatan panjang dan lebar telur, sedangkan praktikan II melakukan penimbangan berat telur dan pencatatan bentuk dan warna telur yang telah diberi nomor secara acak pada telur, kemudian melakukan pengukuran panjang dan lebar telur dengan mengunakan jangka sorong, lalu menimbang telur dengan timbangan gram, kemudian mengamati dan mencatat warna telur. Metode yang digunakan dalam pendugaan ini adalah acak dengan mengacak nomor urut telur yang telah diberi nomor urut dan melakukan pengukuran secara acak.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Telur Ayam
Hasil praktikum pengukuran telur ayam menunjukan bahwa telur ayam ras lebih besar dari telur puyuh, tetapi lebih kecil dari telur itik. Telur ayam merupakan bahan pangan yang berkualitas tinggi bagi manusia dan sebagai sumber embrio ayam, jadi dalam proses pembentukan telur harus diperhatikan dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuwanta (2004) yang menyatakan bahwa telur merupakan bahan pangan yang berkualitas tinggi bagi manusia dan sebagai sumber pakan embrio pada ayam. Suprijatna et al. (2005) juga mengemukakan bahwa struktur telur dimulai dari kuning telur (yolk), albumen, membran kerabang, kerabang dan kutikula.
4.1.1. Berat telur ayam
Hasil perhitungan berat telur ayam ras pada hasil praktikum rata-ratanya 58,7 gr. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprijatna et al. (2005) yang menyatakan bahwa, berat telur ayam rata – rata 55 – 65 gr. Ditambahkan oleh Sudaryani (1996) bahwa berat telur ayam sesuai dengan ayamnya. Telur tidak boleh terlalu berat ataupun terlalu kecil. Berat telur tidak boleh kurang dari 42 gram dan tidak boleh lebih dari 70-80 gram. Keseimbangan berat telur dan berat badan anak ayam adalah tetap.
4.1.2. Indeks telur ayam
Hasil perhitungan indeks bentuk telur pada praktikum menunjukan rata-rata sebesar 75. Dari perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa indeks telur ayam adalah normal. Hai ini sesuai pendapat Yuwanta (2004) yang menyatakan bahwa nilai indeks telur beragam antara 65-82% dan idealnya adalah antara 70-75%. Dijelaskan lebih lanjut oleh Suprijatna et al., (2005) menyatakan bahwa indeks bentuk telur dapat dihitung dengan melakukan perbandingan lebar telur terhadap panjang telur, kemudian dikali 100.
4.1.3. Warna telur ayam
Hasil pengamatan dalam praktikum menunjukan bahwa warna telur ayam ras terbagi menjadi 3 kriteria, yaitu coklat, coklat muda dan coklat tua, dengan presentasi warna berturut-turut : 34 %, 28 %, dan 38 %. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprijatna et al., (2005) yang menyatakan bahwa kerabang telur ayam sebagian besar berwarna putih atau beragam kecoklatan, putih kekuningan atau coklat terang, coklat tua, dan coklat gelap serta coklat muda.
4.1.4. Heritabilitas
Hasil perhitungan diperoleh nilai heritabilitas indeks bentuk telur ayam yaitu -0,23 dan heritabilitas berat telur -0,13, heritabiitas indeks bentuk telur termasuk rendah, sedangkan heritabilitas berat telur termasuk rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Noor (1996) bahwa pada umumnya nilai heritabiitas digolongkan menjadi tiga golongan yaitu heritabilitas rendah jika berada antara 0-0,02, heritabilitas sedang jika 0,2-0,4 dan tinggi untuk nilai heritabilitasnya lebih dari 0,4. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai heritabilitas negatif. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu keseragaman lingkungan, metode yang digunakan dan pengambilan contoh. Dijelaskan lebih lanjut oleh Warwick et al., (1995) bahwa nilai heritabilitas negatif atau lebih dari satu secara biologis tidak mungkin. Hal tersebut dimungkinkan disebabkan oleh lingkungan yang berbeda untuk keluarga kelompok yang berbeda, metode yang digunakan tidak tepat sehingga tidak dapat menunjukkan antara ragam genetik dan ragam lingkungan dengan efektif, kesalahan dalam pengambilan contoh.
4.1.5. Korelasi genetik
Hasil perhitungan nilai korelasi genetik pada praktikum diperoleh -0,006 dan menunjukkan nilai korelasi yang negatif. Hal ini sesuai pendapat Noor (1996) yang menyatakan bahwa korelasi genetik yang positif ada jika seleksi untuk suatu sifat tidak saja berakibat diperbaikinya sifat tersebut. Jika dua sifat berkorelasi negatif maka kemajuan seleksi pada dua sifat akan mengakibatkan menurunnya kemampuan genetik untuk sifat keduannya. Dijelaskan lebih lanjut oleh Warwick et al., (1995) yang menyatakan bahwa manfaat dari korelasi genetik yaitu dalam menentukan tekanan optimum untuk menyeleksi sifat-sifat yang berbeda.
4.2. Telur Puyuh
Telur yang digunakan dalam praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak adalah telur puyuh. Telur puyuh mempunyai bentuk yang sama dengan telur lainnya tetapi hanya ukurannya saja yang berbeda, yaitu lebih kecil dibandingkan dengan telur lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudaryani (1996) telur puyuh mempunyai kandungan gizi yang cukup sempurna karena zat gizinya lengkap dan mudah untuk dicerna. Dijelaskan lebih lanjut oleh Warwick et al., (1995) bahwa telur puyuh mempunyai komposisi albumin 47,4%, yolk 31,9% dan kulit beserta selaput 20,7%. Tebal kulit telur 0,197 mm sedangkan selaput telur sekitar 0,063 mm.
4.2.1. Berat telur puyuh
Hasil penimbangan bobot telur di dapatkan indeks telur rata-rata dari 50 butir telur yang di timbang sebesar 77,96 dengan simpangan baku sebesar 4,06 dan koefisiean keragaman 5,2%. Sampel telur puyuh ini ternasuk dalam telur yang berukuran sedang dengan bercak yang jelas dan cangkang yang tebal. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudaryani (1996) yang menyatakan bahwa bobot telur yang baik untuk ditetaskan yaitu berkisar anatara 10-11 gram. Dijelaskan lebih lanjut oleh Sugiharto (2005) bahwa telur berukuran sedang mempunyai ciri berat 94-105 butir/kg, bercaknya jelas dan mempunyai kulit telur yang tebal.
4.2.2. Indeks telur puyuh
Hasil praktikum didapatkan rata-rata indeks telur sebesar 77,96. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata indeks telur adalah baik. Dijelaskan lebih lanjut oleh Suhermiyati (1991) bahwa indeks hough pada telur puyuh adalah 77,96-80,20. Semakin besar indeks telur dapat berarti semakin besar atau bagus kualitas pada telur tersebut. Indeks telur dari hasil praktikum didapatkan dari perhitungan lebar telur di bagi panjang telur dikali seratus. Hal ini sesuai dengan pendapat Srigandono (1997) bentuk telur merupakan salah satu unsur genetik yang diturunkan dari induk kepada anknya, untuk mengetahuinya dapat dilakukan perhitungan dengan cara lebar telur dibagi panjang telur dan hasilnya dikali seratus.
4.2.3. Warna telur puyuh
Hasil pengamatan terhadap warna kulit telur puyuh didapatkan sebesar 18% untuk warna biru atau sebanyak 26 butir telur, 30% untuk warna coklat atau sebanyak 15 butir telur, dan 52% untuk warna hitam atau sebanyak 26 butir telur. Kulit telur puyuh juga terdapat bercak-bercak dengan warna berbeda-beda dengan dasar warna keputihan. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprijatna (2005) yang menyatakan bahwa ciri-ciri warna telur puyuh terdapat bercak-bercak kehitaman. Ada suatu petunjuk yang memperlihatkan bahwa bercak-bercak itu tidak hanya kehitaman tetapi juga warna lain, dan warna dasarnya adalah keputihan. Ditambahkan oleh Sugiharto (2005) warna telur dipengaruhi oleh adanya zat warna yang dikumpulkan dalam kerabang saat pembentukannya dalam uterus.
4.2.4. Heritabilitas
Berdasarkan hasil praktikum didapapatkan nilai heritabilitas (h2) sebesar -9,26. Nilai heritabilitas tersebut merupakan nilai heritabilitas sangat rendah. Hal ini sesuai pendapat Noor (1996), yang menyatakan bahwa nilai heritabilitas suatu sifat dikatakan rendah antara 0-0,2. Sedang antara 0,2-0,4, tinggi untuk nilai lebih dari 0,4. Hal ini dapat terjadi karena disebabkan beberapa faktor, yaitu perhitungan yang dilakukan kurang lengkap atau karena faktor lingkungan yang berbeda pada masing-masing keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Warwick (1995) nilai heritabilitas negatif atau lebih dari satu tidak mungkin terjadi, tetapi apabila ditemukan dapat disebabkan karena keseragaman yang disebabkan oleh lingkungan yang berbeda untuk kelompok keluarga yang berbeda, metode statistik yang digunakan kurang tepat sehingga tidak dapat membedakan anatara ragam genetik dan lingkungan dengan efektif, dan kesalahan dalam pengambilan contoh.
4.2.5. Korelasi genetik
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan nilai korelasi sebesar 0,014. Hal ini menunjukkan bahwa nilai korelasi sempurna. Dijelaskan lebih lanjut oleh Noor (1996) yang menyatakan bahwa nilai korelasi berkisar antara -1 dan +1, yang disebut sebagai korelasi sempurna, sebab setiap penurunan atau peningkatan variabel x akan diikuti oleh peningkatan atau penurunan variabel y dalam jumlah unit yang sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Warwick et al., (1995) yang menyatakan bahwa sifat-sifat korelasi genetik biasanya digunakan untuk memperkirakan besarnya perubahan-perubahan dalam generasi berikutnya apabila digunakan sebagai kriteria seleksi.
BAB V
KESIMPULAN
Praktikum Ilmu Pemuliaan Ternak diperoleh hasil bahwa angka pewarisan adalah proporsi dari ragam genetik terhadap fenotip yang bergantung pada cara menghitung proporsi tersebut dengan statistik, sehingga angka pewarisan dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk persamaan. Telur ayam ras lebih besar dari telur puyuh, tetapi lebih kecil dari telur itik, berat telur ayam ras adalah normal, indeks telur ayam normal, warnanya terbagi menjadi 3 kriteria, yaitu coklat, coklat muda dan coklat tua, heritabilitas berat telur termasuk rendah. Telur puyuh lebih kecil dibandingkan dengan telur lain. Berat telur sedang, rata-rata indeks telur adalah baik. Kulit telur puyuh juga terdapat bercak-bercak dengan warna berbeda-beda dengan dasar warna keputihan, nilai heritabilitas sangat rendah dan nilai korelasi sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Grasido. Jakarta.
Hintono, A. 1995. Dasar-dasar Ilmu Telur. Universitas Diponegoro Press, Semarang.
Noor, R. R. 1996. Genetika Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta.
Srigandono, B. 1997. Produksi Unggas Ayam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sudaryani, T. 1996. Kualitas Telur. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sugiharto, R. S. 2005. Meningkatkan Keuntungan Beternak Puyuh. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Suprijatna, E. U. 2005. Atmomarsono dan R. Kartasudjana. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tim Redaksi Agromedia Pustaka. 2001. Beternak Puyuh. PT. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Warwick ,E. J. M. Astuti, W. Hardjosubroto. 1995. Pemuliaan Ternak. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.
Yuwanta, T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Kanisius, Yogyakarta.
.
No comments:
Post a Comment
Comment Me