LAPORAN PRAKTIKUM PRODUKSI TERNAK PERAH (PTP) DAPAT DI DOWNLOAD DISINI
BAB I
PENDAHULUAN
Ternak perah merupakan ternak yang menghasilkan susu melebihi kebutuhan konsumsi susu anak-anak sapi. Produksi susu tersebut dapat dipertahankan sampai waktu tertentu atau selama masa hidupnya walaupun anak-anaknya sudah disapih atau sudah tidak disusui lagi. Dengan demikian susu yang dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh manusia.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu antara lain kemampuan genetik sapi, struktur anatomi, struktur fisiologis sapi, makanan dan lingkungan. Kualitas air susu tergantung dari faktor bangsa, jenis, umur, pakan dan interval laktasi.
Tujuan praktikum produksi ternak perah ini adalah untuk mengetahui anatomi ambing pada sapi perah beserta bagian - bagiannya, mengetahui struktur kandang yang baik, melakukan penilaian (judging) tentang performa ternak perah, dan untuk mengetahui faktor intrinsik dan ekstrinsik yang berpengaruh bagi ternak. Manfaat dari praktikum ternak perah adalah praktikan dapat memahami dan mengimplentasikan materi perkuliahan yang telah diberikan, mengetahui perbedaan anatomi sapi perah laktasi dan dara, dapat melakukan judging pada sapi perah dengan mengamati body capacity.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi perah adalah suatu jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan susu. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yaitu Ayrshire, Guernsey, Jersey dan Friesian Holstein (FH) (Blakely dan Bade, 1995). Sapi-sapi perah di Indonesia dewasa ini pada umumnya adalah sapi perah bangsa FH import dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu warna tubuhnya hitam belang putih dengan pembatas yang jelas, terdapat warna putih berbentuk segitiga di dahi dengan kepala panjang, dan sebagian kecil tubuhnya berwarna putih atau hitam seluruhnya (Syarief dan Sumoprastowo, 1990). Turunan sapi FH dikenal dengan sebutan sapi perah Friesian lokal (PFH). Bangsa sapi FH adalah bangsa sapi perah yang paling menonjol di Amerika serikat, jumlahnya cukup banyak sekitar 80 - 90% dari seluruh jumlah sapi yang ada. Di antara jenis sapi perah yang ada, FH mempunyai kemampuan produksi susu yang tinggi (Siregar, 1993).
2.1. Fisiologi Ternak
Fisiologi ternak perah meliputi suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi pernafasan, tingkah laku berbaring, urinasi serta defekasi. Pengetahuan tentang fisiologi sapi perah sangat penting karena menentukan keberhasilan dari usaha peternakan sapi perah disamping faktor genetik dan pakan (Anderson, 1970). Penampilan ternak dipengaruhi oleh lingkungan, peralatan dan fasilitas penanganan ternak yang berakibat pada perubahan fisiologis dan tingkah laku ternak (Akoso, 2008).
2.1.2. Frekuensi Nafas
Lingkungan yang panas akan menyebabkan peningkatan frekuensi pernafasan yang dapat digunakan untuk menandai adanya cekaman panas. Kisaran suhu antara 18 – 20 0C, sapi akan bernafas 20 kali tiap menit dan sebaliknya pada suhu 35 0C frekuensi nafas meningkat 115 kali per menit (Akoso, 2008). Lain halnya dengan pendapat Frandson (1992), yang menyatakan bahwa frekuensi nafas dalam kondisi normal adalah berkisar antara 30 - 40 kali per menit.
Peningkatan frekuensi nafas sangat efisien untuk membuang panas tubuh yang terlalu tinggi. Tingginya frekuensi nafas sangat berkaitan dengan pola makan dan ruminasi yang berakibat pada turunnya efisiensi penampilan produksi (Frandson, 1992). Frekuensi pernafasan setiap menit untuk jenis hewan tidak sama. Pada sapi dewasa berkisar antara 12 - 16 kali per menit, sedangkan pada sapi muda antara 27 - 37 kali per menit (Akoso, 2008).
2.1.3. Suhu Rektal Sapi Perah
Pengukuran suhu tubuh dilakukan dengan termometer klinik yang dimasukkan ke dalam rektum pada kedalaman tertentu dan harus menempel pada dinding mukosa dari rektum (Dukes, 1955). Suhu rektal tidak mewakili rata-rata suhu tubuh tetapi pengukuran pada bagian rektum lebih baik daripada pengukuran pada bagian tubuh lainnya. Kisaran suhu rektal yang normal adalah 36º - 39,1ºC (Anderson, 1970).
Sapi – sapi yang sedang bekerja, sapi yang tiduran pada malam hari suhu tubuhnya relatif tinggi. Suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu lingkungan, jenis kelamin, dan kondisi ternak (Dukes, 1955). Kandang beratap rumbia menyebabkan respons suhu rektal lebih rendah dibandingkan dengan sapi yang ada di dalam kandang beratap genteng dan seng pada pengamatan siang, malam, dan rataan harian. Kandang beratap genteng menyebabkan suhu rektal ternak lebih rendah dibandingkan ternak beratap seng pada pengamatan siang dan rataan harian, namun pada pengamatan malam hari tidak berbeda (Anderson, l970).
2.1.4. Denyut Nadi Sapi Perah
Suhu lingkungan yang tinggi mampu menaikkan frekuensi denyut nadi namun pada suhu lingkungan yang rendah akan menurunkan denyut nadi meskipun dalam batas yang normal (Dukes, 1955). Menurut Frandson (1992), denyut nadi pada daerah comfort zone akan konstan tetapi setelah melewati batas atas comfort zone denyut nadi akan mengalami peningkatan. Denyut nadi yang mengalami peningkatan sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan di mana ternak itu berada. Kisaran frekuensi denyut nadi yang normal pada sapi menurut Anderson (1970) adalah 40 – 69 kali per menit.
2.1.5. Defekasi
Defekasi merupakan salah satu usaha ternak untuk mengatur proses keseimbangan tubuh dengan cara mengeluarkan fesses. Fesses merupakan salah satu produk sisa proses pencernaan setelah pakan yang dikonsumsi mengalami degradasi dan diserap atau tidak mengalami proses apapun yang akhirnya dikeluarkan dari dalam tubuh (Blakely dan Bade, 1995). Proses pembentukan feses pada sapi perah dimulai dari masuknya bahan makanan melalui mulut sampai keluarnya feses dari anus memerlukan waktu 5 - 7 jam (Siregar, 1993).
Bobot feses sapi perah laktasi dan pejantan berkisar antara 8 - 14 kg dan 4 kg pada pedet dalam tiap harinya (Blakely dan Bade, 1995). Lain halnya dengan pendapat Anderson (1970), jumlah feses sapi perah dewasa berkisar antara 18 - 36 kg per ekor per hari, sedangkan pada pedet adalah berkisar antara 4 - 7 kg.
2.1.6. Urinasi
Urine yaitu hasil filtrasi ginjal yang sudah tidak dimanfaatkan dan harus dikeluarkan dari tubuh. Suhu lingkungan berpengaruh terhadap pengeluaran urine di samping faktor lain seperti keseimbangan air, pH, tekanan osmotik, tingkat elektrolit dan konsentrasi banyaknya zat dalam plasma (Blakely dan Bade, 1995). Menurut Akoso (2008) Urinasi merupakan suatu yang dilakukan ternak dalam mengatur proses keseimbangan tubuh yaitu dengan cara membuang urin atau cairan yang tidak bermanfaat lagi bagi tubuh. Warna urine berkaitan dengan enzim pencernaan dan warna bahan yang dikonsumsi. Frekuensi urinasi yang normal pada sapi dalam kondisi normal berkisar antara 5 - 7 kali dalam sehari yaitu sebanyak 6 - 12 liter (Seobronto, 1985).
2.1.7. Laying
Perubahan tingkah laku, misal berbaring, makan dan aktivitas lain akan berakibat pada tambahnya pembuangan panas. Berbaring merupakan salah satu cara untuk membuang panas melalui konduksi yaitu melalui partikel benda padat (Frandson, 1992). Sedangkan menurut pendapat Bligh dan Johnson (1973), menyatakan bahwa rebah dan berdiri pada sapi perah merupakan salah satu cara untuk mengurangi maupun menambah temperatur yang disebabkan naik atau turunnya suhu lingkungan.
Lama berbaring pada sapi dipengaruhi oleh bangsa, suhu lingkungan dan ukuran tubuh. Pada saat berbaring sapi biasanya melakukan proses remastikasi dan juga melakukan penanggulangan suhu tubuh bila sapi merasa lelah dan kepanasan. Tingginya temperatur dipengaruhi oleh tingkat metabolisme serta proses digesti. Metabolisme akan menghasilkan panas yang dikeluarkan melalui
permukaan tubuh (Campbell dan Lasley, 1985).
2.1.8. Ruminansi
Ruminansi merupakan salah satu ciri yang khas pada ternak ruminasia yaitu dengan mengunyah kembali makanan yang telah masuk lambung (rumen) agar lebih lumat dan dapat dengan mudah dicerna (Soebronto, 1985). Sapi biasanya melakukan ruminansia setelah 2 - 5 jam setelah makan dan pada malam hari pada saat sapi sedang berbaring (Frandson, 1992).
2.2. Fisiologi Lingkungan
Lingkungan menurut asalnya dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan alam dan lingkungan buatan. Lingkungan alam terdiri dari faktor iklim yaitu suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, tekanan udara, curah hujan, ketinggian, debu, cahaya dan radiasi kosmik (Williamson dan Payne, 1993). Lingkungan alam dipengaruhi oleh cahaya dan iklim, sedangkan lingkungan buatan terdiri dari polusi lingkungan, komponen toksis pada air, factor mekanis, radiasi ionisasi dan ionisasi udara buatan. Selain lingkungan diatas masih ada lingkungan lainnya yaitu lingkungan social, tanah vegetasi, endoparasit dan ektoparasit (Siregar, 1993).
2.2.1. Pengukuran Suhu Udara
Suhu merupakan bentuk karakteristik inherent, dimiliki oleh suatu benda yang berhubungan dengan panas dan energi. Jika panas dialirkan pada suatu benda maka suhu benda akan meningkat, sebaliknya suhu benda akan turun jika benda yang bersangkutan kehilangan panas (Williamson dan Payne, 1993). Pengembangan sapi perah disekitar subtropis sebaiknya dipilih daerah yang mempunyai suhu lingkungan antara 18,3° - 21,1°C dan kelembaban diatas 55% dengan ketinggian antara 790 - 1220 m di atas permukaan laut. Daerah yang cocok untuk sapi perah dengan suhu lingkungan 21° - 25°C dengan ketinggian tempat 790 m dari permukaan laut (Siregar, 1993). Menurut Campbell dan Lasley (1985), suhu udara pada daerah yang nyaman (comfort zone) untuk usaha sapi perah adalah berkisar antara 15,56º - 26,67ºC.
2.2.2. Pengukuran Kelembaban
Kelembaban udara adalah perbandingan relatif uap air yang ada dalam udara jenuh pada tekanan dan suhu yang sama. Kelembaban relatif erat hubungannya dengan tingkat penguapan air dari tubuh ternak ke lingkungan (Siregar, 1993). Kelembaban udara relatif lebih tinggi pada udara dekat permukaan pada pagi hari disebabkan karena penambahan uap air hasil evatranspirasi dari permukaan atau pengembunan yang memanfaatkan uap air yang berasal dari udara (Williamson dan Payne, 1993).
2.2.3. Pengukuran Radiasi
Radiasi matahari dapat menaikkan beban panas pada ternak. Banyaknya radiasi matahari yang diserap kulit tergantung dari warna kulit dan bulunya. Kira-kira setengah dari spektrum matahari dalam bentuk kelihatan sedangkan lebih kurang setengah lagi dalam bentuk tidak kelihatan yaitu sinar infra merah. Banyaknya sinar yang kelihatan diserap oleh binatang tergantung dari warna binatang di mana warna putih menyerap 20% sedangkan warna hitam menyerap 100% dari radiasi sinar yang kelihatan akan diserap semua oleh binatang apapun warna kulitnya (Williamson dan Payne, 1993). Warna bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi radiasi matahari terhadap beban panas ternak. Radiasi maksimal dicapai pada saat matahari mencapai zenith, sedangkan radiasi minimal dicapai pada saat matahari berada pada posisi terendah. Pengembangan sapi perah disekitar subtropis sebaiknya dipilih daerah yang mempunyai suhu lingkungan antara 18,3° - 21,1°C dan kelembaban diatas 55% dengan ketinggian antara 790-1220 m di atas permukaan laut. Daerah yang cocok untuk sapi perah dengan suhu lingkungan 21° - 25°C dengan ketinggian tempat 790 m dari permukaan laut (Siregar, 1993). Purwanto et al (1995) menyatakan bahwa radiasi maksimal dicapai pada saat matahari mencapai zenith, sedangkan radiasi minimal dicapai pada saat matahari berada pada posisi terendah.
2.3. Perkandangan
Perkandangan merupakan kompleks tempat tinggal ternak dan pengelola yang digunakan untuk melakukan kegiatan proses produksi sebagian atau seluruh kehidupannya dengan segala fasilitas dan peralatannya, sedangkan kandang adalah tempat tinggal ternak untuk melakukan kegiatan produksi maupun reproduksi dari sebagian atau seluruh kehidupannya (Sudarmono, 1993). Dalam pembuatan kandang sapi perah diperlukan beberapa persyaratan yaitu terdapat ventilasi, memberikan kenyamanan sapi perah, mudah dibersihkan, dan memberi kemudahan bagi pekerja kandang dalam melakukan pekerjaannya (Siregar, 1993). Bangunan kandang harus memberikan jaminan hidup yang sehat, nyaman bagi sapi dan tidak menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan tata-laksana. Oleh karena itu, konstruksi, bentuk, dan macam kandang harus dilengkapi dengan ventilasi yang sempurna, atap, dinding, lantai, tempat pakan dan air minum, selokan atau parit, dan ukuran petak kandang yang sesuai kapsitas (Blakely dan Blade, 1995).
2.3.1. Ventilasi
Ventilasi harus berfungsi dengan baik agar keluar-masuknya udara dari dalam dan luar kandang berjalan sempurna. Pengaturan ventilasi yang sempurna berarti memperlancar pergantian udara di dalam kandang yang kotor dengan udara yang bersih dari luar (Siregar, 1993). Jika ventilasi sempurna, maka ruangan kandang tidak akan pengap, lembab, kotor, berdebu, dan panas. Ventilasi kandang sapi perah di daerah tropis cukup dengan ventilasi alami, yang pengadaannya erat sekali dengan perlengkapan dinding terbuka atau dinding semi terbuka (Blakely dan Blade, 1995).
2.3.2. Atap
Atap berfungsi untuk menjaga kehangatan sapi pada malam hari. Atap juga berfungsi untuk melindungi sapi dari terik matahari dan air hujan. Konstruksi atap harus dibuat miring agar air hujan dapat meluncur di atas atap dengan lancar. Sudut kemiringan atap diusahakan sekitar 30°, bagian yang rendah mengarah ke belakang (Blakely dan Blade, 1995). Bahan yang digunakan untuk membuat atap antara lain asbes, rumbai tanah, genting dan seng. Bahan yang ideal adalah genteng karena mudah menyerap panas dan antara genting terdapat celah-celah sehingga membantu dalam sirkulasi udara. Atap rumbai memiliki kelemahan yaitu mudah rusak akibat serangan angin yang besar, oleh karena itu perlu adanya pengikatan yang kuat pada pemakaian atap rumbai. Bila menggunakan seng sebaiknya dicat putih pada bagian luarnya dan hitam pada bagian dalamnya agar pada siang hari tidak terlalu panas. Selain itu dapat digunakan genteng karena mudah menyerap panas dan antara genteng terrdapat celah-celah dalam membantu sirkulasi udara. (Williamson dan Payne, 1993).
2.3.4. Dinding
Pembuatan dinding kandang disarankan hanya pada daerah yang banyak angin bertiup dengan kencang. Sebaliknya pada daerah yang berangin tenang tak perlu dibuat dinding kandang, kalau perlu hanya dibuat pada kedua sisi kandang kanan dan kiri dengan tinggi 1 meter dari lantai (Siregar, 1993). Dinding biasanya dibuat dari tembok atau beton yang dibuat rata agar mudah membersihkannya. Warna dinding putih atau warna terang lainnya sehingga kotoran dalam kandang mudah kelihatan dan kandang lebih bersih. Dinding yang dibangun semi terbuka memberikan keuntungan antara lain terjadinya pergantian udara dalam kandang. (Syarief dan Sumoprastowo, 1990).
2.3.5. Lantai
Lantai yang memenuhi syarat dapat menunjang proses fisis, biologis seperti memamah biak, bernafas dan lainnya sehingga berjalan dengan normal. Lantai yang kasar atau tajam akan dapat menimbulkan luka khususnya pada kulit contohnya lecet sehingga mudah dimasuki organisme kedalam luka tersebut (Syarief dan Sumoprastowo, 1990). Lantai yang licin dapat menyebabkan sapi mudah tergelincir, sedangkan lantai yang lembab dan becek dapat mengganggu pernapasan sapi dan menjadi sarang kuman. Supaya air mudah mengalir atau kering, lantai kandang harus diupayakan miring dengan kemiringan 2-3 cm. Lantai sebagai tempat berpijak dan berbaring sapi sepanjang waktu harus benar-benar memenuhi syarat : tahan injak, tidak licin, tidak mudah menjadi lembab, dan selalu bersih (Siregar, 1993).
2.3.6. Tempat Pakan dan Air Minum
Tempat pakan dan air minum sebaiknya dibuat cekung. Tempat pakan biasanya terbuat dari papan kayu dan tempat air minum menggunakan ember (Siregar, 1993). Kandang yang disekat-sekat dengan pembatas sebaiknya dilengkapi tempat pakan dan air minum dari beton semen secara individual. Masing-masing dibuat dengan ukuran 80 x 50 cm2 untuk tempat pakan dan 40 x 50 cm2 untuk air minum (Blakely dan Blade, 1995).
2.3.7. Selokan atau Parit
Lantai bagian belakang dan di keliling kandang harus dilengkapi parit agar air pembersih kandang dan air untuk memandikan sapi mudah mengalir menuju ke bak penampungan (Blakely dan Blade, 1995). Selokan dibuat dengan lebar 20 - 40 cm dan kedalaman 15 - 25 cm yang untuk memudahkan pembuangan kotoran yang cair, air minum maupun air untuk memandikan sapi (Siregar, 1993).
2.3.8. Tempat Sapi (Petak Kandang)
Pengaturan ukuran kandang yang sesuai kapasitas dapat menjamin kesehatan dan kenyamanan sapi. Sebagai pedoman ukuran luas untuk seekor sapi perah dewasa adalah 1,2 x 1,75 m2. Setiap ruangan bagi sapi-sapi dewasa sebaiknya diberi dinding penyekat untuk memisahkan sapi yang satu dengan yang lain (Siregar, 1993). Dinding penyekat ini dapat terbuat dari tembok, besi bulat (pipa air) ataupun berasal dari kayu atau bambu. Dengan adanya dinding penyekat ini dimaksudkan agar setiap sapi yang menghuni ruangan itu tidak terganggau dengan yang lain, sehingga masing-masing merasa lebih aman. Dengan penyekatan tersebut paling tidak dapat mengurangi atau menghalangi sapi-sapi yang sering memiliki perangai agak agresif (Blakely dan Blade, 1995).
2.4. Anatomi Ambing
Ambing merupakan kelenjar kulit yang ditumbuhi bulu kecuali puting, 4 saluran susu yang terpisah bersama-sama menuju ambing (Schmidt, 1971). Menurut Blakely dan Bade (1995) anatomi ambing seekor sapi perah dibagi menjadi empat kuartir terpisah. Dua kuartir depan biasanya berukuran 20% lebih kecil dari kuartir ambing bagian belakang dan antara kuartir itu bebas satu dengan yang lainnya.
Tiap-tiap kuartir mempunyai satu putting. Bentuk putting bulat, seragam, terletak pada masing-masing kuartir seperti pada sudut bujur sangkar. Kuartir ambing terdapat saluran tempat air susu keluar yang disebut saluran putting Pemisahan ambing menjadi dua bagian ke arah ventral ditandai dengan adanya kerutan longitudinal pada lekukan intermamae (Frandson, 1992). Masing-masing terdiri dari 2 kuartir, kuartir depan dan belakang dipisahkan oleh lapisan tipis (fine membrane). Lapisan pemisah ini menyebabkan setiap kuartir ambing berdiri sendiri terutama pada kenampakan secara eksterior. Perbedaannya terletak pada ukuran ambing dan struktur atau anatomi bagian dalamnya, yaitu belum sempurnanya kerja sel-sel penghasil susu (Soebronto,1985).
2.4.1. Ambing Sapi Dara
Sapi dara mempunyai ambing dengan ukuran yang lebih kecil dan struktur alveoli yang masih halus. Saluran pada ambing sapi dara belum berkembang dan hanya berupa jaringan adiposa. Puting sapi dara masih sederhana dan belum banyak saluran untuk proses laktasi. Hal ini dikarenakan pada ambing sapi dara masih berupa bantalan lemak sehingga saluran untuk proses laktasi belum terbentuk (Frandson, 1992). Sapi betina yang telah mencapai dewasa-kelamin, maka estrogen (dihasilkan oleh folikel pada ovarium) merangsang perkembangan sistema duktus yang besar. Siklus yang berulang, jaringan kelenjar susu dirangsang untuk berkembang lebih cepat. Setelah sapi dara mengalami beberapa kali siklus estrus, maka folikel berkembang menjadi korpus luteum dan memproduksi progesteron, yang menyebabkan perkembangan sistema lobul-alveolar (Williamson dan Payne, 1993).
2.4.2. Ambing Sapi Laktasi
Puting ambing sapi laktasi terbentuk sempurna dan berkembang baik seiring dengan perkembangan ambing dan sudah menampakkan saluran yang lengkap seperti, muara putting yang berfungsi tempat berkumpulnya susu, teat canal merupakan saluran putting tempat keluarnya susu, membran mukosa merupakan saluran tipis yang menutupi atau melapisi dinding putting bagian dalam, otot spinter merupakan otot yang mengatur pembukaan dan penutupan putting dan teat meatus (Syarief dan Sumoprastowo, 1990). Pada ambing sapi laktasi, ligamentum lateralis dan ligamentum medialis terlihat jelas. Struktur alveoli lebih banyak dan besar yang membentuk rongga. Vena mammaria pada ambing sapi laktasi tampak jelas karena sapi laktasi sudah dapat memproduksi susu (Frandson, 1992).
Suplai darah ke ambing sebagian besar melalui arteri pudendal (pundik) eksternal yang merupakan cabang dari pudendoepigastrik. Arteri pudendal eksternal bergerak ke arah bawah melalui kanalis inguinalis yang berliku-liku dan terbagi menjadi cabang-cabang kranial dan kaudal yang mensuplai bagian depan dan belakang kuarter ambing pada sisi yang sama dari arteri tersebut. Arteri perineal mensuplai sejumlah kecil darah ke bagian kaudal dari kedua bagian (masing-masing separuh bagian) ambing. Aliran vena dari ambing melalui lingkaran vena pada dasar ambing, yang melekat pada dinding abdominal. Vena pada bagian ambing terdiri atas vena pudendal dan vena epigastrik superfisial kaudal. Vena tersebut berjalan ke arah depan di dalam bidang sagital dari lateral sampai garis tengah dinding abdominal sebelah ventral (Frandson, 1992).
Pembagian ambing menjadi empat bagian meliputi jaringan kelenjar dan sistem saluran, yang lebih kurang mirip dua buah pohon yang saling berdekatan di mana ranting serta dahannya saling bertaut, namun masing-masing mempunyai ciri sendiri. Parenkimia (jaringan epitel) dari kelenjar mamae dalam beberapa hal mirip dengan jaringan paru-paru, atau dengan kata lain mirip dengan setandan anggur, dengan alveoli sebagai buah anggurnya, dengan berbagai tingkat duktus digambarkan sebagai batangnya. Alveoli merupakan struktur utama untuk produksi susu (Frandson, 1992). Pada masa kebuntingan yang lanjut terjadi kenaikan bertahap dalam sekresi prolaktin yang dirangsang oleh estrogen. Pelepasan oksitosin pada tiap-tiap pemerahan merangsang sekresi prolaktin. Hormon tersebut masuk lewat darah ke dalam kelenjar susu, merangsang sel-sel epitel untuk mengeluarkan susu diantara waktu pemerahan (Anggorodi, 1994).
Laktasi normal pada sapi perah lamanya berkisar antara 305 hari dengan 60 hari masa kering, sedangkan produksi susu tertinggi terjadi pada 6 sampai 12 minggu pertama masa laktasi (Blakely dan Bade, 1995). Semakin lama masa kering yang didapat semakin besar presistensi pada laktasi berikutnya, karena masa kering merupakan masa untuk membangun persediaan zat-zat cadangan makanan (Anggorodi, 1994).
2.5. Judging Sapi Perah
Judging maupun seleksi sapi perah dalam pengamatan berguna untuk menghubungkan antara tipenya sebagai sapi perah yang baik dengan fungsi produksi susunya. Pemberian deskripsi dalam penampilan sapi perah yang ideal biasanya menggunakan semacam kartu skor yang disebut The Dairy Cow Unified Score Card. Kartu skor tersebut dibagi menjadi 4 bagian utama yaitu: penampilan umum (30 nilai), sifat sapi perah (20 nilai), kapasitas badan (20 nilai), sistem mammae (30 nilai) (Blakely dan Bade, 1995). Penilaian (judging) pada ternak sapi perah dilakukan melalui empat tahapan yaitu : 1) Pandangan samping yaitu untuk menilai keadaan lutut, kekompakan bentuk tubuh, keadaan pinggul dan kaki. 2) Pandangan belakang untuk menilai kelebaran pantat, kedalaman otot, kelebaran dan kepenuhan bokong dan keserasian berdiri pada tumpuan pada kaki-kakinya. 3) Pandangan depan untuk menilai bentuk dan ciri kepalanya, kebulatan bagian rusuk, kedalaman dada dan keadaan pertulangan serta keserasian kaki depan. 4) Perabaan. Penilaian ini untuk menentukan tingkat dan kualitas akhir melalui perabaan yang dirasakan melalui ketitisan, kerapatan dan kelunakan kulit serta perlemakannya (bagian rusuk, transversus processus pada tulang belakang, pangkal ekor, bidang bahu (Santosa, 2007).
Klasifikasi penilaian tipe bangsa yaitu : sangat bagus (85 - 90), agak bagus (80 - 84), bagus (75 - 79), sedang (65 - 74), buruk (<65), klasifikasi ini dapat bervariasi menurut bangsa (Blakely dan Bade, 1995). Sapi termasuk kategori exellent dengan nilai lebih dari 90, good plus dengan nilai 85 – 90, good dengan nilai 75 – 85 dan poor jika nilainya dibawah 75 (Bligh dan Johnson, 1973). Penilaian penampilan secara umum terdiri dari karakteristik bangsa, sifat kebetinaan, keharmonisan, dan kepala secara keseluruhan. Karakter tipe perahan antara lain bentuk tubuh, kehalusan kulit badan, kehalusan kulit ekor, gumba, dan penonjolan tulang rusuk. Kapasitas tubuh antara lain terdiri dari ukuran badan terutama luas bagian perut, lingkar dada, dan lebar dada. Sistem kelenjar ambing terdiri dari pertautan, konsistensi, dan ukuran ambing (Santosa, 2007).
MATERI DAN METODE
Praktikum Produksi Ternak Perah dilaksanakan pada hari Minggu sampai hari Senin, tanggal 24 - 25 Oktober 2010 di Kandang Ternak Sapi Perah Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang.
3.1. Materi
3.1.1. Judging
Materi yang digunakan pada praktikum ini adalah sapi perah. Alat yang digunakan adalah alat tulis.
3.1.2. Anatomi Ambing
Materi yang digunakan pada praktikum ini adalah dua buah ambing awetan yaitu satu buah ambing awetan sapi dara dan satu buah ambing awetan sapi laktasi. Alat yang digunakan adalah penggaris, benang,dan tali.
3.1.3. Fisiologis Ternak
Materi yang digunakan pada praktikum ini adalah sapi perah. Alat yang digunakan adalah stopwatch, termo rectal dan alat tulis.
Materi yang digunakan dalam praktikum ini adalah Black Globe Temperature dan higrometer.
3.1.5. Perkandangan
Materi yang digunakan dalam praktikum ini adalah kandang, alat tulis dan meteran.
3.2. Metode
3.2.1. Judging
Metode yang digunakan adalah mengamati sapi secara keseluruhan dan melakukan penilaian secara subjektif meliputi general appearance, dairy character, body capacity dan mammary system.
3.2.2. Anatomi Ambing
Metode yang digunakan adalah mengamati ambing sapi dara dan ambing sapi laktasi, meliputi jaringan penggantung ambing, bagian ambing yang terdiri atas tinggi puting, jarak puting, panjang puting, lingkar puting serta jarak antar puting depan dan belakang, serta membedakan antara ambing sapi dara dan sapi laktasi.
3.2.3. Fisiologis Ternak
Pengamatan fisiologi ternak sapi perah dilakukan dengan mengukur frekuensi pernafasan, denyut nadi, suhu rektal dan mencatat waktu laying, defekasi dan urinasi. Interval pengukuran dilakukan setiap enam jam sekali.
3.2.3.1. Frekuensi Pernafasan. Pengukuran frekuensi pernafasan dilakukan dengan mengamati gerak kembang kempis dengan menempelkan tangan praktikan di atas hidung sapi perah, setiap tarikan dan hembusan nafas dihitung satu kali pernafasan. Pengukuran dilakukan selama satu menit.
3.2.3.2. Suhu Rektal. Pengukuran suhu rektal dilakukan dengan menggunakan termometer klinis yang telah dibersihkan dan suhu termometer dinormalkan (kurang dari 37°C). Memasukkan ujung lancip dari termometer kedalam rektum sapi perah selama satu menit, kemudian termometer dicabut dan dibaca skalanya. Pengukuran suhu rektal dilakukan setiap enam jam sekali.
3.2.3.3. Denyut Nadi. Pengukuran denyut nadi dilakukan dengan perabaan pada bagian pangkal ekor dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk mencari hingga ketemu denyut nadinya. Pengukuran juga dapat dilakukan dengan menggunakan stetoskop yang ditempelkan pada ketiak kiri kaki depan sehingga terdengar denyut nadinya. Perhitungan dilakukan selama satu menit pada masing-masing waktu pengukuran.
3.2.3.4. Defekasi. Pengamatan defekasi dilakukan dengan cara mencatat waktu ketika sapi perah mengeluarkan feses. Setiap kali sapi mengeluarkan feses dicatat waktu, dan berat feses yang dikeluarkan dengan cara diambil dengan sekop, ditampung dalam ember dan ditimbang. Defekasi diamati selama 24 jam dan di jumlah keseluruhan feses yang dikeluarkan.
3.2.3.5. Urinasi. Pengamatan urinasi dilakukan dengan cara mencatat waktu saat sapi mengeluarkan urine. Setiap kali sapi mengeluarkan urine dicatat waktu dan jumlah urin yang dikeluarkan dengan cara ditampung pada gelas ukur dan dilihat skala yang ditunjukkan gelas ukur. Urinasi diamati selama 24 jam.
3.2.3.6. Laying. Pengamatan laying dilakukan setiap kali sapi berbaring dan kemudian berdiri dan dicatat masing-masing waktunya. Pengamatan dilakukan selama 24 jam.
3.2.3.7. Ruminasi. Pengamatan ruminasi dilakukan dengan cara mencatat waktu saat sapi melakukan ruminasi.
3.2.4. Fisiologi Lingkungan
Pengamatan fisiologi lingkungan dilakukan dengan menghitung radiasi matahari, mengukur suhu udara dan pengukuran kelembaban udara. Pengukuran dan perhitungan tersebut dilakukan setiap enam jam sekali.
3.2.4.1. Pengukuran Suhu Udara. Pengukuran suhu udara dilakukan dengan menggunakan higrometer. Higrometer diletakkan di dalam dan di luar kandang, kemudian skala yang terlihat pada termometer bola kering (Dry Bulb Temperature) dibaca dan angka yang menunjukkan pada skala pada saat pengamatan tersebut dicatat.
3.2.4.2. Pengukuran Kelembaban. Pengukuran kelembaban udara dilakukan dengan menggunakan Higrometer. Pengukuran dilakukan dengan membaca dan mencatat skala suhu bola kering dan bola basah. Selisih antara temperatur bola basah dan bola kering kemudian dihitung, selanjutnya dilihat pada tabel konversi pada bagian paling atas selisih tersebut dan diurutkan antara hasil pembacaan dengan DBT.
3.2.4.3. Pengukuran Radiasi Matahari. Perhitungan radiasi matahari diperkirakan dengan mengukur temperatur pada benda hitam/black globe temperature, kemudian dihitung dengan rumus :
Rumus Stefan Boltzmann :
R = d . T4
Keterangan : R = Radiasi matahari (Kkal/m2/jam)
d = Konstanta Stefan Boltzmann (4,93 ´ 10-8)
T= Suhu mutlak dalam derajat Kelvin (273+derajat celcius)
3.2.5. Perkandangan
Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah metode pengamatan kandang secara langsung, dimana praktikan melakukan pengamatan mengenai kondisi kandang, mengukur panjang kandang, lebar kandang, tinggi kandang, tinggi atap luar, tinggi atap dalam, panjang tempat pakan dan minum, lebar tempat pakan dan minum, tinggi tempat pakan dan minum, kemiringan lantai, jarak kandang dengan pembuangan limbah, lebar dan tinggi pintu, gudang pakan, bak penampungan air, panjang selokan, lebar selokan, kedalaman selokan dan bahan pembuat atap dan lantai.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Judging
Judging sapi perah di kandang fakultas peternakan Universitas Diponegoro didapatkan hasil bahwa sampel sapi VI mendapatkan nilai 76, sapi VII mendapatkan nilai 79, sapi VIII mendapatkan nilai 79 dan sapi XI mendapatkan nilai 75 yang berarti sapi tersebut merupakan sapi yang berklasifikasi bagus (good), hal ini sesuai dengan pendapat Bligh dan Johnson (1973), sapi termasuk kategori exellent dengan nilai lebih dari 90, good plus dengan nilai 85 – 90, good dengan nilai 75 – 85 dan poor jika nilainya dibawah 75. Sapi X mendapatkan nilai lebih tertinggi yaitu 90 sehingga sapi X termasuk klasifikasi good plus. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Bade (1995) bahwa klasifikasi penilaian tipe bangsa yaitu : sangat bagus (85-90), agak bagus (80-84), bagus (75-79), sedang (65-74), dan buruk (<65). Penilaian penampilan secara umum terdiri dari karakteristik bangsa, sifat kebetinaan, keharmonisan, dan kepala secara keseluruhan.
4.2. Anatomi Ambing
Anatomi ambing dilakukan dengan melakukan pengamatan bagian-bagian ambing awetan sapi dara dan sapi laktasi. Hasil pengamatan antara sapi dara dan sapi laktasi terlihat bahwa ukuran ambing sapi dara baik panjang ambing, jarak antar puting baik depan kanan, depan kiri, belakang kanan, dan belakang kiri lebih kecil dibandingkan dengan sapi laktasi. Sesuai pendapat Syarif dan Sumoprastowo (1990) hal ini disebabkan susunan penyokong ambing dara masih berupa perlemakan dan bagian-bagiannya masih belum terlihat jelas. Kelenjar-kelenjar ambing juga belum bias menghasilkan susu, dikarenakan sapi perah tersebut belum bunting maupun melahirkan.
Ambing terdiri dari 4 bagian yang masing-masing terletak di daerah inguinal caudal dari umbilicus dan meluas ke belakang di antara kedua paha. Pada kulitnya terdapat bulu kecuali pada putting. Ambing terpisah menjadi bagian kanan dan kiri oleh central ligament. Masing-masing terdiri dari 2 kuartir, kuartir depan dan belakang dipisahkan oleh lapisan tipis (fine membrane). Lapisan pemisah ini menyebabkan setiap kuartir ambing berdiri sendiri terutama pada kenampakan secara eksterior. Perbedaannya terletak pada ukuran ambing dan struktur atau anatomi bagian dalamnya, yaitu belum sempurnanya kerja sel-sel penghasil susu (Soebronto,1985).
4.2.1. Anatomi Ambing sapi dara
Berdasarkan hasil praktikum pengamatan Ambing pada sapi dara secara anatomi memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan dengan Ambing sapi laktasi, sebab saluran pada ambing dara belum berkembang. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1992) yang menyatakan bahwa pada ambing sapi dara masih berupa bantalan lemak sehingga saluran untuk proses laktasi belum terbentuk .
4.2.2. Anatomi Ambing sapi laktasi
Berdasarkan hasil praktikum pengamatan Ambing pada sapi laktasi secara anatomi memiliki ukuran lebih besar dibandingkan dengan Ambing sapi dara, hal ini disebabkan ambing pada sapi laktasi sudah memproduksi susu. Sapi betina yang telah mencapai dewasa kelamin, maka estrogen merangsang perkembangan sistem duktus yang besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1992) yang menyatakan bahwa Vena mammaria pada ambing sapi laktasi tampak jelas karena sapi laktasi sudah dapat memproduksi susu
Siklus estrus yang berulang, menyebabkan perkembangan jaringan kelenjar susu lebih cepat. Bila sapi dara telah mengalami beberapa kali siklus estrus, maka duktusnya memperlihatakan banyak cabang dalam ambing.
4.3. Fisiologi Ternak
4.3.1. Frekuensi Nafas
Menurut data perhitungan, rata-rata frekuensi nafas sapi 21 kali/menit. Menurut pendapat Akoso (2008) bahwa frekuensi pernafasan setiap menit untuk jenis hewan tidak sama. Pada sapi dewasa berkisar antara 12 - 16 kali/menit, sedangkan pada sapi muda antara 27 - 37 kali/menit. Menurut Frandson (1992), frekuensi pernafasan yang normal pada sapi berkisar antara 15 – 30 kali/menit. Frekuensi pernafasan rata–rata kesepuluh sapi tersebut masih berada pada batas normal. Sapi menyesuaikan panas tubuh terhadap lingkungannya dengan lebih banyak berbaring.
4.3.2. Suhu Rektal Sapi Perah
Menurut data perhitungan, rata-rata suhu rektal kesepuluh sapi yaitu sebesar 38,1oC, ini tergolong normal. Hal ini sesuai dengan pendapat Anderson (1970) bahwa suhu rectal tidak mewakili rata-rata suhu tubuh tetapi pengukuran pada bagian rectum lebih baik dari pada pengukuran pada bagian tubuh lainnya. Kisaran suhu tubuh yang normal adalah 36 – 39,1oC. Menurut Dukes (1955) sapi–sapi yang sedang bekerja, sapi yang tiduran pada malam hari suhu tubuhnya relatif tinggi. Suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu lingkungan, jenis kelamin, dan kondisi ternak.
4.3.3. Denyut Nadi Sapi Perah
Menurut data perhitungan, rata-rata denyut nadi kesepuluh sapi yaitu 55 kali/menit, ini tergolong normal. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1992) bahwa denyut nadi dipengaruhi oleh suhu lingkungan dimana ternak itu berada. Ditambahkan oleh Dukes (1995) bahwa Frekuensi denyut nadi sapi sehat adalah sebagai berikut, pedet (umur beberapa hari) 116 – 141 kali/menit, pedet (umur 1 bulan) 105 kali/menit, pedet (umur 6 bulan) 96 kali/menit, sapi (muda umur 1 tahun) 91 kali/ menit, sapi dewasa 40 – 60 kali/menit dan sapi (tua) 35–70 kali/menit.
4.3.4. Defekasi
Menurut data perhitungan rata-rata feses kesepuluh sapi sebanyak 0,85kg dari hasil pengamatan dapat disimpulkan kelima sapi dalam batas tidak normal. Ini disebabkan karena konsumsi pakan ternak yang tidak tercukupi. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat (Blakely dan Bade, 1995) yang menyatakan bahwa bobot feses sapi perah laktasi dan pejantan berkisar antara 8 - 14 kg dan 4 kg pada pedet dalam tiap harinya. Lain halnya dengan pendapat Anderson (1970), jumlah feses sapi perah dewasa berkisar antara 18 - 36 kg per ekor per hari, sedangkan pada pedet adalah berkisar antara 4 - 7 kg.
4.3.5. Urinasi
Rata-rata urine kesepuluh sapi sebanyak 0,5 liter dari hasil pengamatan dapat disimpulkan kesepuluh sapi dalam keadaan batas tidak normal. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Soebronto (1985) bahwa frekuensi urinasi yang normal pada sapi dalam kondisi normal berkisar antara 5 - 7 kali dalam sehari yaitu sebanyak 6 - 12 liter.
4.3.6. Laying
Berbaring merupakan salah satu cara untuk membuang panas melalui konduksi yaitu melalui partikel benda padat. Hal ini sesuai dengan pendapat Campbell dan Lasley (1985) yang menyatakan bahwa lamanya berbaring dipengaruhi oleh bangsa, umur, suhu tubuh dan lingkungan Pada pengamatan frekuensi laying pada malam hari sapi-sapi tersebut lebih sering berbaring atau rebahan.
4.3.7. Ruminansi
Ruminansi merupakan salah satu ciri yang khas pada ternak ruminasia yaitu dengan mengunyah kembali makanan yang telah masuk lambung (rumen) agar lebih lumat dan dapat dengan mudah dicerna (Soebronto, 1985). Ditambahkan oleh Frandson (1992) yang menyatakan bahwa Sapi biasanya melakukan ruminansia setelah 2 - 5 jam setelah makan dan pada malam hari pada saat sapi sedang berbaring
4.4. Fisiologi Lingkungan
4.4.1. Pengukuran Suhu Udara
Data suhu udara makro (luar kandang) pada waktu praktikum mencapai 26o C pada pukul 06.00 WIB dan 44o C pada pukul 12.00 WIB. Data suhu udara mikro (dalam kandang) pada waktu praktikum mencapai 25o C pada pukul 06.00 WIB dan 22o C pada pukul 12.00 WIB. Menurut Campbell dan Lasley (1985), suhu udara pada daerah yang nyaman (comfort zone) untuk usaha sapi perah adalah berkisar antara 15,56 - 26,67ºC. Pada hasil praktikum ini menunjukkan hasil pada pukul 06.00 WIB sesuai dengan pendapat Campbell dan Lasley (1985), sedangkan hasil pada pukul 12.00 WIB lebih tinggi dari batas daerah nyaman. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya pancaran sinar matahari di siang hari yang berlebih.
4.4.2. Pengukuran Kelembaban
Kelembaban udara yang tertinggi pada umumnya dicapai pada pukul 06.00 WIB dan 18.00 WIB. Pada pagi hari dan menjelang malam hari tingkat uap air tinggi sehingga udara menjadi lembab. Berdasarkan hasil data pada praktikum, kelembaban udara makro diperoleh pada pagi hari sebesar 95 %, siang hari 57 %, malam hari 83 %, dan dini hari 95% sedangkan mikro diperoleh pada pagi hari 91 %, siang hari 62 %, malam hari 87 % dan dini hari 95 %. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan bahwa kelembaban udara relatif lebih tinggi pada udara dekat permukaan pada pagi hari disebabkan karena penambahan uap air hasil evatranspirasi dari permukaan atau pengembunan yang memanfaatkan uap air yang berasal dari udara. Kelembaban relatif erat hubungannya dengan tingkat penguapan air dari tubuh ternak ke lingkungan.
4.4.3. Pengukuran Radiasi Matahari
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh data bahwa radiasi matahari tertinggi terjadi pada pukul 12.00 WIB sebesar 495,106 Kkal/m2/ jam dan terendah pada pukul 21.00 WIB sebesar 322,78 Kkal/m2/ jam. Pada siang hari intensitas cahaya matahari semakin tinggi sehingga udara semakin panas. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwanto et al (1995) yang menyatakan bahwa radiasi maksimal dicapai pada saat matahari mencapai zenith, sedangkan radiasi minimal dicapai pada saat matahari berada pada posisi terendah. Pada tubuh ternak sapi perah terdapat warna hitam yang dapat menyerap panas, sehingga menimbulkan ternak tersebut akan menderita cekaman panas sehingga konsumsi air akan meningkat dan akhirnya konsumsi pakan menurun (Williamson dan Payne, 1993).
4.5. Perkandangan
Kandang merupakan tempat tinggal untuk melakukan aktivitas produksi maupun reproduksi dari sebagian atau seluruh kehidupannya. Maka kita harus memperhatikan syarat dan faktor dalam membuat kandang yang baik. Pengamatan pada bangunan kandang sapi perah Fakultas Peternakan dilakukan dengan pengukuran. Data yang diperoleh dari pengukuran menunjukkan bahwa ukuran kandang beserta fasilitasnya cukup memadai, hanya saja yang perlu diperhatikan adalah jarak kandang dengan pembuangan limbah perlu diperjauh hal ini sesauai pendapat sinegar (1992) yang menyatakan dalam perkandangan harus memenuhi persyaratan yang membelikan kenyamanan sapi perah.
Bangunan kandang sapi perah pada praktikum Produksi Ternak Perah di Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang memiliki konstruksi yang cukup kuat, tersusun atas rangka kayu dengan dinding pembatas dari tembok sehingga cukup untuk mendukung aktivitas hidup ternak dan produksi sapi perah.
4.5.1. Ventilasi
Hasil pengamatan yang dilakukan pada kandang sapi perah yang berada di Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro termasuk baik. Hal ini dapat dilihat dari bentuk bangunan kandang tersebut. Udara dapat bersirkulasi secara baik sehingga ruangan kandang tidak terasa pengap, lembab, kotor, berdebu dan panas. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (1993) bahwa pengaturan ventilasi yang sempurna berarti memperlancar pergantian udara di dalam kandang yang kotor dengan udara yang bersih dari luar Pengaturan ventilasi yang baik merupakan kunci dalam menciptakan kondisi ruangan kandang yang sehat, sehingga produksi dari ternak tersebut akan meningkat. Apabila kondisi kandang tidak sehat maka pertumbuhan ternak akan terhambat dan hal ini akan mengakibatkan produksi ternak menurun.
4.5.2. Atap
Atap kandang Fakultas Peternakan terbuat dari asbes, apabila dilihat dari efek konduktifitas tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan seng. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang men yatakan bahwa yang ideal adalah genteng karena mudah menyerap panas dan antara genteng terrdapat celah-celah dalam membantu sirkulasi udara. Dengan pengaturan ketinggian atap yang sesuai dengan ternak maka suhu panas pada siang hari yang timbul dari efek konduktifitas dapat dikurangi. Tinggi atap pada bangunan kandang sapi di Fakultas Peternakan yaitu 3,80 m dari hasil ini menunjukkan tinggi atap cukup ideal untuk ternak sehingga masih terasa nyaman dan sirkukasi udara masih dapat berlangsung.
4.5.3. Dinding
Dinding kandang yang terdapat di kandang Fakultas Peternakan terbuat dari tembok yang merupakan campuran semen dan pasir. Dinding ini menggunakan sistem dinding setengah terbuka hal ini dimaksudkan agar sirkulasi udara lancar sehingga pengaruh bau kandang yang tidak sedap tidak akan terhisap oleh susu pada waktu pemerahan dilakukan serta kondisi kesehatan ternak akan lebih terjamin. Hal ini sesuai dengan pendapat Blakely dan Blade (1995) bahwa pada umumnya kandang sapi perah di daerah tropis berdinding setengah terbuka agar aliran udara lancar dan bau yang tidak sedap tidak berpengaruh terhadap susu yang merupakan produk utama dari ternak perah.
4.5.4. Lantai
Lantai yang diamati menunjukkan bahwa lantai sudah memenuhi syarat yaitu keras, rata, dan tidak licin. Hal ini akan menjamin kehidupan dan proses fisiologis seperti bernapas, memamah biak berjalan dengan normal. Lantai kandang terbuat dari bahan campuran antara semen dan pasir tidak licin dan rata sehingga sapi dapat berdiri dengan tegak, berbaring bebas dan nyaman. Dengan demikian ternak akan tumbuh dengan baik. Sebaliknya lantai yang licin dan selalu basah akan menyebabkan ternak mudah terjangkit penyakit. Hal ini dapat dilihat dari cara bernapas dan luka yang ada pada kulit ternak. Supaya air mudah mengalir atau kering, lantai harus diupayakan miring, dengan kemiringan lantai sekitar 30 ( Siregar, 1993). Dengan kemiringan tersebut maka segala hal yang merugikan akan terhindari, contohnya luka pada kaki.
4.5.5. Tempat Pakan dan Tempat Minum
Tempat dan minum terbuat dari tembok beton dengan lubang pembuangan air pada bagian sebelah bawah. Berdasarkan pengamatan tempat air minum berupa bak (ember) air sedangkan untuk tempat pakan panjangnya 92,2 cm, lebar 46 cm dan tingginya 50 cm dan terbuat dari campuran pasir dan semen. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (1993) bahwa tempat pakan biasanya terbuat dari papan kayu dan tempat air minum menggunakan ember. Ditambahkan oleh Siregar (1993), ukuran tempat pakan 90 x 41 x 35 cm. Berarti tempat pakan kandang sapi perah di Fakultas Peternakan sudah memenuhi syarat.
4.5.6. Selokan
Dalam praktikum diperoleh hasil panjang, lebar, tinggi dan jumlah selokan berturut-turut adalah 94,4 cm, 27 cm, 5 cm, dan jumlahnya 2 buah. Ukuran parit tersebut sudah standard sehingga air pembersih lantai urine, kotoran sapi, dan air untuk memandikan sapi dapat mengalir dengan baik menuju tempat penampungan kotoran.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Konsumsi pakan dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, berat badan, bangsa dan kondisi lingkungan. Keadaan fisiologis lingkungan tidak normal dikarenakan suhu udara, kelembaban dan radiasi matahari lebih tinggi dari batas normal. Suhu lingkungan yang tidak normal juga mempengaruhi suhu tubuh, frekuensi nafas, serta denyut nadi. Laying selain untuk istirahat merupakan usaha ternak untuk mengeluarkan panas melalui konduksi.
Ambing dara berbeda dengan sapi laktasi yaitu pada sapi dara mempunyai kelenjar ambing yang belum berfungsi sedangkan pada sapi laktasi ambingnya sudah berfungsi.
5.2. Saran
Kandang yang ada di Fakultas Peternakan ada bagian yang sudah rusak dan sebaiknya diperbaiki, seperti kursi, pintu yang berada di kamar susu, aliran air tidak lancar karena ada selokan, bak penampungan air kurang bersih, dan tempat pakan perlu diberi sekat supaya sapi tidak saling berebut makanan.
DAFTAR PUSTAKA
Akoso, B.T. 2008. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta
Anderson, B.E. 1970. Temperatur Regulation and Environmental Physiological, in Duke Physiology of Domestic Animal. 8th edition. Cornal University, London.
Blakely, J dan Bade, DH. 1995. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Bligh, J. and K. G. Johnson. 1973. Glassani of Teams for Thermal Physiology. J. Appl. Physiol. 35 : 941.
Campbell, J. R. dan J. F. Lasley. 1985. The Science of Animal That Serve Humidity. 2nd Ed. McGraw Hill Coy, New York.
Dukes, H. 1955. The Physiology of Domestic Animal. 7th edition. Comstock Publishing Denville.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Purwanto BP, A. B. Santoso dan Andi Murfi. 1995. Fisiologi Lingkungan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Santosa. 2007. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Schmidt. 1971. Biology of Lactation. W. H. Freeman and Co, San Francisco.
Siregar, S. 1993. Jenis Teknik Pemeliharaan dan Analisis Usaha Sapi Perah. Penebar Swadaya, Jakarta.
Soebronto, A. 1985. Ilmu Penyakit Ternak I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sudarmono. 1993. Tata Usaha Sapi Kereman. Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Syarief, M.Z. dan R.M. Sumoprastowo. 1990. Ternak Perah. CV Yasaguna. Jakarta.
Williamson dan Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Judging Sapi Perah
Tabel 1. Data Hasil Penilaian Judging Sapi Perah
Dasar Penelitian
|
Nilai
|
Sapi Perah
| ||
VI
|
VII
|
VIII
| ||
I. General Appearance
|
30
10
10
10
|
7
8
7
|
6
8
8
|
8
8
7
|
II. Diary Character
Bentuk badan, kehalusan badan, leher, dan rambut
|
20
20
|
18
|
18
|
18
|
III. Body Capacity
a. Ukuran badan dan perut
b. Dada (dalam, ledar, dan lingkar)
|
20
10
10
|
8
10
|
8
7
|
8
7
|
IV. Mammary system
a. Ambing ( ukuran dan konsisten)
b.Ambing depan
c. Ambing belakang
d. Putting susu
e. Vena
|
30
10
6
7
5
2
|
7
4
5
4
1
|
7
6
7
3
1
|
7
4
6
4
1
|
Total
|
100
|
76
|
79
|
79
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Tabel 1. Data Hasil Penilaian Judging Sapi Perah (Lanjutan)
Dasar Penelitian
|
Nilai
|
Sapi Perah
| ||
IX
|
X
| |||
I. General Appearance
a. Sifat kebetinaan
b. Bahu,punggung, kemudi, pangkal ekor, dan ekor
c. Kaki depan, kaki belakang,dan teracak
|
30
10
10
10
|
8
8
8
|
9
8
8
| |
II. Diary Character
Bentuk badan, kehalusan badan, leher, dan rambut
|
20
20
|
17
|
18
| |
III. Body Capacity
a. Ukuran badan dan perut
b. Dada (dalam, ledar, dan lingkar)
|
20
10
10
|
7
7
|
7
8
| |
IV. Mammary system
a. Ambing ( ukuran dan konsisten)
b. Ambing depan
c. Ambing belakang
d. Putting susu
e. Vena
|
30
10
6
7
5
2
|
6
4
5
4
1
|
8
7
8
7
1
| |
Total
|
100
|
75
|
90
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Lampiran 2. Struktur Ambing Sapi Laktasi dan Sapi Dara
struktur eksterior ambing laktasi
Keterangan :
1. Puting depan kiri ( panjang, kecil)
2. Puting depan kanan (panjang, kecil)
3. Puting belakang kanan (besar, pendek)
4. Puting belakang kiri (besar, pendek)
Struktur Eksterior Ambing Laktasi
Keterangan :
1. Puting depan kiri ( panjang, kecil)
2. Puting depan kanan (panjang, kecil)
3. Puting belakang kanan (besar, pendek)
4. Puting belakang kiri (besar, pendek)
Lampiran 2. Struktur Ambing Sapi Laktasi dan Sapi Dara (lanjutan)
Struktur Eksterior Ambing Sapi Dara
Keterangan :
1. Puting depan kanan ( besar, pendek)
2. Puting depan kiri (besar, pendek)
3. Puting belakang kanan (kecil, panjang)
4. Puting belakang kiri (kecil, panjang)
Lampiran 3. Tingkah Laku dan Fisiologi Ternak
Tabel 1. Data Frekuensi Nafas
WAKTU
|
SAPI
| ||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
| |
06.00 WIB
|
21/menit
|
17/menit
|
19/menit
|
16/menit
|
24/menit
|
12.00 WIB
|
36/menit
|
24/menit
|
29/menit
|
21/menit
|
25/menit
|
18.00 WIB
|
25/menit
|
15/menit
|
25/menit
|
15/menit
|
21/menit
|
00.00 WIB
|
21/menit
|
10/menit
|
17/menit
|
16/menit
|
16/menit
|
Rata-rata
|
25/menit
|
16/menit
|
22/menit
|
17/menit
|
21/menit
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
WAKTU
|
SAPI
| ||||
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
X
| |
06.00 WIB
|
15/menit
|
18/menit
|
32/menit
|
23/menit
|
19/menit
|
12.00 WIB
|
30/menit
|
30/menit
|
32/menit
|
33/menit
|
32/menit
|
18.00 WIB
|
17/menit
|
21/menit
|
17/menit
|
18/menit
|
19/menit
|
00.00 WIB
|
14/menit
|
21/menit
|
22/menit
|
20/menit
|
14/menit
|
Rata-rata
|
19/menit
|
23/menit
|
26/menit
|
24/menit
|
21/menit
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Tabel 2. Data Denyut Nadi
WAKTU
|
SAPI
| ||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
| |
06.00 WIB
|
56/menit
|
58/menit
|
55/menit
|
58/menit
|
55/menit
|
12.00 WIB
|
57/menit
|
55/menit
|
58/menit
|
54/menit
|
58/menit
|
18.00 WIB
|
57/menit
|
53/menit
|
56/menit
|
57/menit
|
54/menit
|
00.00 WIB
|
54/menit
|
50/menit
|
53/menit
|
57/menit
|
54/menit
|
Rata-rata
|
56/menit
|
54/menit
|
55/menit
|
56/menit
|
55/menit
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
WAKTU
|
SAPI
| ||||
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
X
| |
06.00 WIB
|
56/menit
|
60/menit
|
57/menit
|
58/menit
|
60/menit
|
12.00 WIB
|
54/menit
|
54/menit
|
55/menit
|
53/menit
|
61/menit
|
18.00 WIB
|
53/menit
|
53/menit
|
57/menit
|
58/menit
|
56/menit
|
00.00 WIB
|
58/menit
|
58/menit
|
53/menit
|
54/menit
|
57/menit
|
Rata-rata
|
55/menit
|
56/menit
|
55/menit
|
55/menit
|
58/menit
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Tabel 3. Data Suhu Rectal
WAKTU
|
SAPI
| ||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
| |
06.00 WIB
|
38,1ºC
|
37,5ºC
|
37,4°C
|
37,4ºC
|
37,6°C
|
12.00 WIB
|
38,4°C
|
38,3°C
|
38,6°C
|
38,6°C
|
38,6°C
|
18.00 WIB
|
38,3°C
|
38,2°C
|
38,4°C
|
38,3°C
|
37,9°C
|
00.00 WIB
|
38,3°C
|
37ºC
|
37,7°C
|
37,1ºC
|
37,3°C
|
Rata-rata
|
38,3°C
|
37,7ºC
|
38°C
|
37,8°C
|
37,8°C
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
WAKTU
|
SAPI
| ||||
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
X
| |
06.00 WIB
|
37,6ºC
|
37,8ºC
|
37,9°C
|
37,7ºC
|
37,8°C
|
12.00 WIB
|
38,5°C
|
38,6°C
|
39,2°C
|
38,5°C
|
38,4°C
|
18.00 WIB
|
38,6°C
|
38°C
|
38,6°C
|
38°C
|
38,7°C
|
00.00 WIB
|
37,9°C
|
38,1ºC
|
38,3°C
|
37,8ºC
|
37,9°C
|
Rata-rata
|
38,15°C
|
38,12ºC
|
38,15°C
|
38°C
|
38,2°C
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Tabel 8. Hasil pengukuran fisiologi lingkungan makroklimat dan mikroklimat
Waktu
|
Makroklimat
|
Mikroklimat
|
Radiasi (kkal/m2/jam)
| ||||
Suhu
(oC)
|
Kelembaban
(%)
|
Radiasi (kkal/m2/jam)
|
Suhu
(oC)
|
Kelembaban
(%)
| |||
06.00
|
26
|
95
|
391,87
|
25
|
91
|
322,78
| |
12.00
|
44
|
57
|
495,106
|
22
|
62
|
424,288
| |
18.00
|
29
|
83
|
407,84
|
27
|
87
|
397,143
| |
21.00
|
25
|
95
|
322,78
|
25
|
95
|
322,78
| |
Rata-rata
|
31
|
82,5
|
404,399
|
24,75
|
83,75
|
366,74
| |
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Ilustrasi 1. Gambar Kandang Tampak Depan
Keterangan:
1. Atap
2. Pintu
3. Jalan
4. Atap teras
5. Dinding
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Ilustrasi 2. Gambar Kandang Tampak Belakang
Keterangan:
1. Atap
2. Pintu
3. Bak air
4. Gang way
5. Selokan
6. Dinding
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010
Lampiran 4. Ukuran-ukuran Kandang dan Gambar Kandang (Lanjutan)
Ilustrasi 3. Gambar Kandang Tampak Samping
Keterangan:
1. Atap
2. Palung
3. Dinding
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010.
Ilustrasi 4. Gambar Kandang Tampak Atas
Keterangan:
1. Selokan
2. Jalan
3. Palung
4. Bak air
5. Stall
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010
Lampiran 5. Ukuran-ukuran kandang
Kandang
Panjang = 12,8 m
Lebar = 8,4 m
Tinggi = 4,1 m
Selokan
Panjang selokan = 9,7 m
Lebar selokan = 0,35 m
Kedalaman selokan = 4 cm
Kemiringan selokan = 3,29o
Ventilasi
Panjang = 12,7 m
Lebar = 1,82 m
Jumlah ventilasi = 2 buah (sisi kanan dan kiri kandang)
Tempat air
Tinggi = 50 cm
Panjang = 9 m
Lebar = 45 cm
Tempat pakan
Panjang = 9 m
Lebar = 45 cm
Tinggi = 57 cm (kedalaman selokan awal)
Luas = 11,7 m2
Stall
Panjang = 1,33 m
Tinggi I = 9,8 cm
Tinggi II = 14 cm
Jumlah stall = 7 buah
Atap
Kemiringan = 16,6o
Tinggi atap bagian dalam = 4,11 m
Tinggi atap bagian luar = 2,53 m
Lantai
Kemiringan lantai = 4o
Lampiran 3. Tingkah laku ternak dan fisiologis ternak (lanjutan)
Tabel 4. Data Laying
SAPI
| |||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
| |||||
MULAI
|
SELESAI
|
MULAI
|
SELESAI
|
MULAI
|
SELESAI
|
MULAI
|
SELESAI
|
MULAI
|
SELESAI
|
13.01
|
13.54
|
13.58
|
14.00
|
13.13
|
14.00
|
13.01
|
13.35
|
12.58
|
13.42
|
18.47
|
20.15
|
21.07
|
21.25
|
18.38
|
20.35
|
21.59
|
23.00
|
21.07
|
21.19
|
21.04
|
21.19
|
22.35
|
23.00
|
01.07
|
04.47
|
23.45
|
00.04
|
22.06
|
22.30
|
21.40
|
22.42
|
23.44
|
24.13
|
00.48
|
02.28
|
00.54
|
00.58
| ||
23.00
|
00.07
|
00.53
|
02.57
|
04.43
|
01.00
|
01.58
| |||
00.48
02.43
|
02.32
|
02.28
|
03.48
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010
SAPI
| |||||||||
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
X
| |||||
MULAI
|
SELESAI
|
MULAI
|
SELESAI
|
MULAI
|
SELESAI
|
MULAI
|
SELESAI
|
MULAI
|
SELESAI
|
13.04
|
13.57
|
12.47
|
13.33
|
12.49
|
13.53
|
12.46
|
13.58
|
20.15
|
21.06
|
18.45
|
20.09
|
18.45
|
19.05
|
18.30
|
21.00
|
22.07
|
00.24
|
23.00
|
00.12
|
23.06
|
00.14
|
21.07
|
21.19
|
22.29
|
00.14
|
02.13
|
04.38
| ||
00.53
|
03.09
|
21.45
|
22.25
|
01.13
|
03.05
| ||||
22.30
|
00.25
| ||||||||
23.06
01.13
|
02.28
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010
Tabel 5. Defekasi
SAPI
| |||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
| |||||
WAKTU
|
BERAT
(Kg)
|
WAKTU
|
BERAT
(Kg)
|
WAKTU
|
BERAT
(Kg)
|
WAKTU
|
BERAT
(Kg)
|
WAKTU
|
BERAT
(Kg)
|
08.38
|
0,65
|
06.14
|
0,56
|
07.21
|
1,00
|
08.30
|
0,87
|
07.12
|
1,20
|
11.16
|
1,00
|
13.59
|
2,00
|
11.36
|
1,40
|
13.54
|
1,70
|
16.27
|
0,70
|
13.21
|
0,90
|
18.27
|
1,40
|
14.00
|
0,90
|
16.57
|
0,85
|
21.02
|
0,80
|
14.03
|
0,30
|
22.53
|
0,30
|
16.55
|
0,90
|
18.49
|
0,50
|
21.51
|
1,30
|
16.08
|
0,50
|
20.15
|
0,60
|
21.38
|
0,50
|
00.54
|
0,80
| ||
19.36
00.07
|
0,95
0,50
|
21.09
22.31
|
0,70
0,50
|
00.04
|
0,50
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010
Lampiran 3. Tingkah laku ternak dan fisiologis ternak (lanjutan)
SAPI
| |||||||||
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
X
| |||||
WAKTU
|
BERAT
(Kg)
|
WAKTU
|
BERAT
(Kg)
|
WAKTU
|
BERAT
(Kg)
|
WAKTU
|
BERAT
(Kg)
|
WAKTU
|
BERAT
(Kg)
|
07.09
|
0,30
|
09.53
|
0,74
|
10.13
|
0,94
|
07.35
|
0,10
|
08.25
|
0,12
|
11.02
|
1,30
|
17.24
|
0,70
|
12.12
|
0,82
|
09.53
|
0,80
|
09.45
|
0,13
|
11.13
|
0,90
|
20.00
|
0,40
|
13.55
|
0,70
|
11.56
|
0,68
|
17.50
|
0,12
|
14.08
|
1,80
|
00.32
|
0,70
|
14.17
|
0,40
|
14.36
|
0,10
|
21.20
|
0,90
|
15.14
|
0,70
|
16.27
|
0,30
|
15.57
|
0,60
|
01.01
|
0,65
| ||
18.15
21.22
|
0,80
0,60
|
19.23
00.08
|
0,80
0,60
|
19.30
21.43
|
0,80
0,70
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010
Tabel 6. Data Urinari
SAPI
| |||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
| |||||
WAKTU
|
Volume
(L)
|
WAKTU
|
Volume
(L)
|
WAKTU
|
Volume
(L)
|
WAKTU
|
Volume
(L)
|
WAKTU
|
Volume
(L)
|
11.19
|
0,30
|
12.08
|
0,30
|
07.36
|
1,50
|
07.36
|
0,43
|
15.17
|
0,85
|
14.02
|
0,50
|
14.49
|
1,00
|
14.48
|
1,00
|
11.50
|
0,85
|
22.39
|
0,60
|
16.26
|
0,60
|
21.29
|
1,20
|
16.27
|
2,30
|
13.54
|
1,40
| ||
00.10
|
1,00
|
23.58
|
1,80
|
15.37
|
0,90
| ||||
22.56
|
0,70
| ||||||||
02.32
|
0,60
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010
SAPI
| |||||||||
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
X
| |||||
WAKTU
|
Volume
(L)
|
WAKTU
|
Volume
(L)
|
WAKTU
|
Volume
(L)
|
WAKTU
|
Volume
(L)
|
WAKTU
|
Volume
(L)
|
14.00
|
1,30
|
12.05
|
0,41
|
12,09
|
1,30
|
14.47
|
0,80
|
12.11
|
0,75
|
21.14
|
0,70
|
14.47
|
1,20
|
18,23
|
1,00
|
15.27
|
0,50
|
13.36
|
0,55
|
03.47
|
0,45
|
00.02
|
1,00
|
16.19
|
1,30
|
14.05
|
1,00
| ||
21.16
|
2,00
|
15.15
|
2,00
| ||||||
18.38
|
1,2
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010
Lampiran 3. Tingkah laku ternak dan fisiologis ternak (lanjutan)
Tabel 7. Data Ruminasi
SAPI
| |||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
| |||||
MULAI
|
SELESAI
|
MULAI
|
SELESAI
|
MULAI
|
SELESAI
|
MULAI
|
SELESAI
|
MULAI
|
SELESAI
|
13.33
|
13.39
|
13.06
|
13.20
|
13.04
|
13.13
|
13.01
|
13.10
|
13.21
|
13.23
|
23.16
|
00.45
|
02.57
|
03.11
|
23.20
|
12.15
|
13.23
|
13.28
| ||
00.48
|
01.10
|
01.10
|
02.28
| ||||||
03.12
|
03.56
| ||||||||
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010
SAPI
| |||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
| |||||
MULAI
|
SELESAI
|
MULAI
|
SELESAI
|
MULAI
|
SELESAI
|
MULAI
|
SELESAI
|
MULAI
|
SELESAI
|
13.20
|
13.24
|
13.33
|
13.39
|
13.33
|
13.39
|
13.04
|
13.23
| ||
14.54
|
14.56
| ||||||||
22.30
|
22.38
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2010
terima kasih infonya gan... like
ReplyDeleteTHANKS GAN UAH BERBAGI ILMUNYA
ReplyDeletesiip, terimakasih kka :)
ReplyDelete